BRICS dan Ujian Kepemimpinan Indonesia di Dunia Multipolar

Para pemimpin negara anggota BRICS dalam pertemuan di Brasil. Foto: Brics.br

BRICS dan Ujian Kepemimpinan Indonesia di Dunia Multipolar

Willy Haryono • 8 July 2025 11:42

Jakarta: Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 BRICS yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, 6-7 Juli 2025, menjadi momen penting dalam peta global. Dengan mengusung semangat negara-negara Global South, KTT ini menghasilkan Deklarasi Rio—sebuah dokumen politik yang tidak hanya menyoroti ketimpangan tatanan dunia, tetapi juga mengukuhkan BRICS sebagai kekuatan geopolitik yang kian percaya diri menghadapi hegemoni lama.

Isu reformasi tatanan global menjadi salah satu sorotan utama. BRICS menyerukan perombakan struktural pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya Dewan Keamanan, agar lebih representatif terhadap negara berkembang. Dorongan serupa juga diarahkan pada lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia yang dianggap belum mencerminkan dinamika ekonomi abad ke-21.
 

Baca: Presiden Prabowo di Barisan Depan Foto Resmi KTT BRICS


Selain itu, BRICS mengecam kebijakan ekonomi proteksionis dan sanksi sepihak yang dianggap bertentangan dengan hukum internasional. Negara-negara anggota menyatakan komitmennya terhadap sistem perdagangan multilateral yang adil, transparan, dan berbasis aturan, dengan WTO sebagai pilar utamanya.

BRICS juga mengecam keras serangan Israel ke Gaza dan infrastruktur nuklir damai Iran, yang dinilai telah melanggar hukum internasional.

Namun sorotan tak hanya pada isi deklarasi, tetapi juga pada siapa yang tidak hadir. Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin absen secara fisik dalam pertemuan ini.

Meski keduanya tetap terlibat lewat perwakilan dan video, ketidakhadiran mereka menandai adanya pergeseran. Absennya dua tokoh sentral BRICS membuka ruang manuver lebih besar bagi India dan Brasil, serta memberi peluang bagi negara baru seperti Indonesia untuk tampil lebih menonjol.

Indonesia Jadi Full Member BRICS

Di tengah absennya dua pendiri BRICS, pernyataan bahwa Indonesia kini resmi menjadi anggota penuh (full member) menjadi kabar penting yang belum cukup mendapatkan perhatian di dalam negeri. Keanggotaan ini bukan hanya simbolis. BRICS mewakili sekitar 40 persen PDB global dan lebih dari separuh populasi dunia. Masuknya Indonesia menggeser peran Jakarta dari sekadar penonton menjadi bagian dari arsitek tatanan global baru.

Dalam konteks ini, kehadiran Presiden Prabowo Subianto di KTT BRICS 2025 menjadi langkah awal penting dalam diplomasi multilateralisme strategis Indonesia. Tantangannya ke depan adalah memastikan kehadiran ini bukan sekadar simbol, tapi juga dibarengi dengan agenda substantif—baik dalam hal perdagangan, inovasi teknologi, maupun keamanan kawasan.

Terlebih, dengan posisi Indonesia yang tidak berpihak secara terang-terangan dalam konflik global, peran sebagai jembatan dialog menjadi sangat relevan.

Salah satu medan paling rumit yang dihadapi BRICS adalah upaya menantang dominasi dolar AS dalam sistem keuangan global. Sejauh ini, upaya dedolarisasi masih menghadapi hambatan besar, baik dari sisi teknis, politik, maupun kepercayaan pasar. Namun, semangat memperkuat perdagangan menggunakan mata uang lokal terus digaungkan. Bagi Indonesia, hal ini membuka peluang untuk memperdalam kerja sama keuangan regional tanpa terlalu bergantung pada fluktuasi dolar.

Kekuatan diplomatik yang diperhitungkan

Krisis global—baik yang bersifat akut seperti perang Gaza dan Ukraina, maupun yang kronis seperti ketidaksetaraan ekonomi dunia—membutuhkan tata kelola yang lebih representatif. BRICS menawarkan pendekatan alternatif terhadap cara dunia merespons konflik, berbasis prinsip non-intervensi dan penghormatan terhadap hukum internasional. Sekaligus, ini juga menunjukkan keberanian politik kelompok ini untuk bersuara di luar garis narasi yang selama ini didominasi Barat.

Namun BRICS sendiri bukan tanpa masalah. Perbedaan sistem politik, kepentingan regional, dan rivalitas bilateral di antara anggotanya membuat tantangan internal tidak bisa diabaikan. Dedolarisasi, misalnya, butuh konsensus dan infrastruktur finansial bersama yang belum sepenuhnya matang. Dalam isu konflik global, kesamaan sikap dalam deklarasi belum tentu tercermin dalam tindakan bersama.

Meski demikian, peluang tetap terbuka. Keanggotaan penuh di BRICS menempatkan Indonesia pada meja strategis di mana arsitektur global sedang didiskusikan ulang. Tugas kita selanjutnya adalah memastikan kehadiran di BRICS tidak hanya bersifat simbolis atau protokoler, melainkan mencerminkan visi jangka panjang untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan diplomatik yang diperhitungkan.

Di tengah ketegangan global, perubahan iklim, dan dinamika ekonomi dunia, BRICS adalah salah satu ruang baru di mana Indonesia bisa lebih bersuara. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita bagian dari perubahan itu, tapi seberapa jauh kita ingin memengaruhinya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)