Salah satu pantai di Sumba Timur. (Medcom.id/Citra)
Jakarta: Hari ini, tepat 48 tahun lalu, atau pada 19 Agustus 1977, wilayah selatan Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), diguncang gempa bumi yang disertai dengan gelombang tsunami. Melansir laman resmi Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III, kekuatan gempa kala itu 7,0 skala richter.
Sementara itu, mengutip sumber Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana BNPB Volume 10 No 1 Tahun 2019; disasterchannel.co; dan siagabencana.com, guncangan gempa bumi itu berkekuatan 8,3 skala richter (SR), dengan kedalaman 33 kilometer. Guncangan yang memicu tsunami itu melanda kawasan selatan deretan Nusa Tenggara, meliputi Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT); Sumbawa, NTB; Lombok, NTB; sampai Bali.
"Gempa bumi disertai tsunami mengakibatkan 200 orang tewas atau hilang, puluhan perahu rusak atau hilang, serta ratusan rumah rusak," ujar BBMKG Wilayah III dikutip pada Selasa, 19 Agustus 2025.
Gempa yang populer disebut 'The Great Sumba' itu terjadi pukul 14.08 Wita, pada hari Jumat bulan Ramadan, jadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Sementara tsunami datang satu jam setelah gempa melanda, yang didahului dengan surutnya air laut. Melansir Kompas.id berdasar sumber International Tsunami Information Center (ITIC) pada 1977, mencatat ketinggian gelombang tsunami di sejumlah wilayah terdampak kala itu:
Sumba, NTT
- Melolo setinggi 1,5 meter
- Waingapu setinggi 1 meter
- Leterua, Sumba Barat Daya setinggi 5,5 meter, dan merendam 1.200 meter ke darat
Sumbawa, NTB
- Lunyuk setinggi 5,8 meter, dan merendam 500 meter ke darat
Lombok, NTB
- Kuta, Lombok setinggi 4,3 meter,
- Labuanhaji setinggi 3,2 meter
- Batunampar setinggi 2 meter
- Awang setinggi 4,3 meter
Bali
- Nusa Dua setinggi 2,5 meter
- Benoa setinggi 1,5 meter
Selanjutnya, berdasarkan data ITIC 1977, tercatat satu orang meninggal di Labuanhaji dan perahu nelayan hancur. Kemudian, 20 orang meninggal di Awang, Lombok. Gelombang tsunami membuat perahu nelayan hancur dan pohon tumbang.
Gelombang tsunami di Kuta, Lombok, pun menyebabkan satu orang meninggal. Selain itu, perahu-perahu nelayan pun hancur dihantam gelombang.
Terakhir, wilayah Lunyuk, Sumbawa, menyebabkan 65 orang meninggal dan 37 orang hilang. Wilayah Lunyuk tercatat dengan jumlah korban jiwa terbanyak.
Gempa yang disertai gelombang tsunami di dekat Palung Sunda, di Samudra Hindia itu dipicu deformasi vertikal dasar laut dan longsoran bawah laut. Bencana itu diduga akibat aktivasi zona subduksi lempeng Indo-Australia di bawah Sunda Kecil (segmentasi Sumba-Sumbawa).
Sementara itu, pada tanggal serupa, yakni 19 Agustus 2018, pukul 21.56 WIB, atau 41 tahun setelah 'The Great Sumba' melanda, gempa kembali mengguncang Lombok, NTB, tepatnya di laut, 30 km arah timur laut Lombok Timur, dengan kedalaman 10 km.
Berdasarkan laman resmi BMKG, gempa tersebut tidak berpotensi tsunami. Namun, guncangan gempa itu, menurut rilis resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebabkan 10 orang meninggal, 24 orang luka, 151 unit rumah dan 6 rumah ibadah rusak.
Waspada ancaman megathrust
Bedasarkan kejadian ini, sudah sepantasnya menjadi sinyal masyarakat untuk waspada. Kepala BNPB Suharyanto pun pernah mengingatkan terkait adanya potensi gempa bumi dengan kekuatan magnitudo (M) 8,5 di wilayah NTB. Hal itu disampaikan Suharyanto saat Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) di Kota Mataram, NTB, pada 26 April 2025.
Potensi gempa megathrust ini lantaran wilayah NTB diapit oleh dua lempeng bumi. Dia mengingatkan bahwa bencana gempa di NTB periode 2018, menyebabkan ratusan orang meninggal dan butuh waktu lama untuk membangun kembali wilayah terdampak.
"Kalau menurut ahli-ahli dari BMKG, mengatakan potensinya 8,5 skala richter. Kita tidak menakut-nakuti, ini adalah data yang sampai saat ini memang gempa bumi dan tsunami itu belum ada yang bisa memastikan kapan terjadinya," ujar Suharyanto.