Jakarta: Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan strategi penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kini sepenuhnya berbasis sains dan teknologi. Bahkan, potensi karhutla sudah diantisipasi enam bulan sebelum fenomena itu berlangsung saat terjadi El Nino moderat pada 2023.
“Begitu diprediksi akan terjadi El Nino, BMKG bersama BNPB, KLHK, dan PUPR melakukan antisipasi dengan operasi modifikasi cuaca saat musim hujan. Tujuannya agar air hujan meresap ke lahan gambut untuk menaikkan muka air tanah sehingga saat kemarau lahan tidak terlalu kering,” kata Dwikorita di kantor BMKG, Jakarta, Selasa, 12 Agustus 2025.
Ia menjelaskan, prediksi cuaca diperbarui secara berkala. Hal itu dilakukan untuk menentukan titik-titik rawan terbakar yang menjadi prioritas modifikasi cuaca dan patroli. Modifikasi cuaca dilakukan untuk mengisi waduk dan sumber air lain sebagai cadangan menghadapi musim kemarau.
Dwikorita menjelaskan bahwa curah hujan tercatat berada di atas rata-rata selama musim kemarau tahun ini. Kondisi tersebut membuka peluang besar untuk mengoptimalkan OMC dalam mempercepat terbentuknya hujan buatan guna mencegah karhutla.
“Sejak 1 Agustus, OMC di Kalbar dilakukan sejak pagi hingga malam hari untuk memaksimalkan pertumbuhan awan hujan. Pun, di Riau, OMC dilakukan sejak pagi hingga malam,” ungkap Dwikorita.
Keberhasilan OMC tak lepas dari langkah antisipatif yang telah disiapkan BMKG sejak awal. Sejak musim hujan pada April, BMKG telah melakukan analisis dan prediksi musim kemarau serta potensi karhutla. Hasil prediksi tersebut secara rutin dilaporkan kepada Presiden, dengan tembusan kepada kementerian/lembaga terkait serta pemerintah daerah yang wilayahnya diprediksi rawan karhutla.
“Prediksi ini terus diperbarui secara berkala (bulanan, 10 harian, bahkan mingguan) melalui analisis tingkat kemudahan lahan terbakar berdasarkan kondisi cuaca, iklim, dan parameter permukaan lahan,” sebut Dwikorita.
Berkat kesiapan data dan sistem prediksi tersebut, tingkat akurasi pelaksanaan OMC mencapai 80 hingga 95 persen.
Selain itu, Dwikorita menyampaikan koordinasi lintas sektor dilakukan secara cepat, baik secara digital maupun melalui kerja lapangan bersama Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, serta pemerintah daerah setempat.
Sementara itu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan, strategi ilmiah tersebut berkontribusi terhadap tren penurunan signifikan luas karhutla. Pada 2015, kebakaran mencapai sekitar 1,8 juta hektare, kemudian turun menjadi sekitar 1 juta hektare pada 2019, dan kembali menyusut menjadi sekitar 600 ribu hektare pada 2023.
“Dua informasi penting dari BMKG (intensitas hujan dan tingkat kemudahan lahan terbakar) menjadi dasar bagi BNPB untuk melakukan eksekusi, baik lewat operasi modifikasi cuaca, water bombing, patroli udara, maupun pengerahan pasukan darat,” jelas Raja Juli.
Hingga 12 Agustus, luas karhutla disebut berada pada titik aman dan terkendali. Namun, cuaca yang masih variatif membuat risiko kebakaran tetap ada hingga akhir September, terutama di Riau, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.
“Kami sepakat mengimbau masyarakat, gubernur, pangdam, dan kapolda untuk tetap siaga. Mudah-mudahan memasuki Oktober kita sudah masuk musim hujan dan aman,” ujar Raja Juli.