Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari. Foto: Dok. KSP.
Anggi Tondi Martaon • 25 September 2025 07:08
Jakarta: Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari menyoroti data Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang memiliki standar operasional prosedur (SOP) kemanan pangan. Data tersebut menjadi sorotan gegara maraknya keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam beberapa waktu terakhir.
Qodari menyampaikan, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, baru 413 dari 1.379 SPPG yang memiliki SOP Keamanan Pangan. Bahkan, hanya 312 yang benar-benar menerapkan SOP tersebut.
“Dari sini kan sudah kelihatan kalau mau mengatasi masalah ini, maka kemudian SOP-nya harus ada, SOP Keamanan Pangan harus ada dan dijalankan,” kata Qodari dikutip dari ksp.go.id, Kamis, 25 September 2025.
Qodari menambahkan, Kemenkes juga memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) sebagai bukti pemenuhan standar mutu serta persyaratan keamanan pangan olahan maupun siap saji. Menurut dia, SPPG harus memiliki sertifikat tersebut.
“Jadi singkatnya SPPG itu harus punya SLHS dari Kemenkes sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG,” ungkap Qodari.
Data per 22 September 2025 menunjukkan, baru 34 dari 8.583 SPPG yang memiliki SLHS. Menurut Qodari, hal ini menegaskan bahwa solusi tidak bisa ditunda, setiap SPPG wajib memiliki SOP dan SLHS sebagai prasyarat operasional.
Ilustrasi SPPG. Foto: Dok. Metrotvnews.com.
Hasil koordinasi KSP dengan kementerian terkait juga mengonfirmasi bahwa regulasi sebenarnya sudah tersedia diterbitkan oleh BGN dengan dukungan BPOM. Tantangan terbesarnya adalah memastikan aturan tersebut benar-benar diaktifkan dan dipatuhi.
“Bahwa dari sisi regulasi dan aturan telah diterbitkan oleh BGN dan dibantu oleh BPOM, PR-nya adalah sisi aktivasi dan pengawasan kepatuhan,” sebut Qodari.
Selain itu, Qodari menyampaikan keracunan umumnya dipicu oleh rendahnya higienitas makanan, suhu yang tidak sesuai standar, kesalahan dalam pengolahan, hingga kontaminasi silang dari petugas, serta dipicu oleh alergi pada penerima manfaat. Pemerintah dipastikan tidak tutup mata dengan fakta tersebut.
“Pemerintah tidak
tone deaf, tidak buta dan tuli. Bahkan Pak Mensesneg pada Jumat lalu sudah menyampaikan permintaan maaf dan komitmen evaluasi,” ujar Qodari.