Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (MI/USMAN ISKANDAR)
Riza Aslam Khaeron • 20 August 2025 16:04
Jakarta: Kasus video manipulatif yang menyeret Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini kembali membuka mata publik tentang bahaya teknologi deepfake.
Dalam video yang beredar di media sosial, Sri Mulyani tampak seolah-olah menyebut guru sebagai "beban negara".
Setelah ditelusuri, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa video tersebut adalah hasil manipulasi digital menggunakan kecerdasan buatan atau deepfake, dan isi aslinya telah dipotong serta dipelintir dari pidato resmi dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus 2025.
Melansir klarifikasi resmi dari Kemenkeu, pernyataan itu tidak pernah disampaikan oleh Sri Mulyani dan keberadaan video palsu tersebut telah menyesatkan persepsi publik. Teknologi deepfake menjadi ancaman serius karena mampu meniru suara, wajah, bahkan gerakan tubuh tokoh publik secara meyakinkan.
Dalam konteks digital saat ini, penyebaran konten semacam itu sangat mungkin terjadi dalam hitungan menit dan berdampak luas sebelum sempat diverifikasi Karena itu, untuk menghindari fitnah, kita perlu mengerti apa itu Deepfake dan cara mengetahuinya.
Berikut pengertian teknologi deepfake dan cara mengenali konten digital yang dimanipulasi secara artifisial.
Pengertian Deepfake
Melansir Regulasi Uni Eropa (EU AI Act 2024), deepfake atau dalam regulasi disebut Deep fakes adalah bentuk konten yang dihasilkan atau dimanipulasi oleh sistem kecerdasan buatan (AI) hingga menyerupai orang, objek, tempat, atau peristiwa yang nyata—dan dapat secara keliru ditangkap sebagai autentik atau benar oleh publik.
Jenis konten ini mencakup video, audio, maupun gambar, dan umumnya menimbulkan kesan bahwa subjek yang digambarkan benar-benar berkata atau melakukan sesuatu, padahal tidak.*
Dalam regulasi tersebut, kewajiban utama bagi pembuat maupun penyebar deepfake adalah mengungkapkan bahwa konten tersebut bersifat artifisial, dengan cara memberi label atau peringatan yang membedakannya dari konten nyata.
Transparansi ini bertujuan agar publik tidak tertipu oleh tampilan yang menyerupai kenyataan, sekaligus menjaga integritas informasi dalam ruang digital.
Cara Mengetahui Konten Deepfake
Mendeteksi konten deepfake bukan hal mudah, terutama karena kemampuannya meniru suara dan wajah manusia secara realistis. Namun, penggunaan layanan daring, dan mata yang jeli dapat mempermudah proses tersebut, berikut panduan mengetahui konten Deepfake:
1. Periksa label atau pengakuan
Dalam regulasi Uni Eropa (
EU AI Act), pembuat dan penyebar deepfake diwajibkan menyebutkan bahwa konten bersifat artifisial. Jika tidak ada peringatan atau penanda, terutama pada konten yang tampak resmi, publik patut waspada.
2. Gunakan alat pelacak metadata dan kredensial konten
Teknologi seperti
Content Credentials (C2PA) memungkinkan publik memeriksa riwayat pembuatan dan pengeditan konten. Beberapa platform kini mulai menampilkan informasi sumber asli gambar atau video.
3. Lakukan penelusuran balik visual (reverse image/video search)
Gunakan alat-alat pencari gambar seperti Google Lens, Google Images, Yandex, atau InVID untuk membandingkan potongan video/foto dengan versi asli yang pernah beredar di internet.
4. Amati tanda-tanda visual mencurigakan
Ciri teknis yang sering muncul pada deepfake antara lain: bayangan tidak konsisten, gerakan bibir tidak sinkron dengan suara, kedipan mata tidak alami, dan tepi wajah yang tampak kabur atau bergetar.
5. Deteksi suara palsu secara manual
Perhatikan intonasi suara yang datar, perubahan nada yang tidak wajar, suara putus-putus, samar-samar, serta suara napas atau latar belakang yang terdengar statis atau menempel.
6. Verifikasi konteks dan sumber primer
Selalu cocokkan isi video dengan arsip resmi, media berita, siaran langsung, atau pernyataan institusi terpercaya. Deepfake sering menyebar tanpa referensi waktu, tempat, atau acara yang jelas.
Panduan ini tidak menjamin deteksi sempurna, namun dapat membantu publik bersikap kritis terhadap konten yang viral dan berpotensi menyesatkan. Dalam keraguan, lebih baik tunda menyebarkan hingga sumber dapat diverifikasi.
Di tengah maraknya penyebaran informasi digital, kemampuan mengenali konten deepfake menjadi bagian penting dari literasi media. Kasus manipulasi video
Sri Mulyani menunjukkan bahwa rekayasa visual dan suara kini dapat digunakan untuk menyesatkan publik secara masif.
Dengan memahami definisi, dan panduan deteksi, pembaca diharapkan dapat lebih mudah menghindari upaya fitnah yang beredar di internet.