Deputy Head of Mission EU Delegation to Indonesia and Brunei Darussalam, Stéphane Mechati (berjas). Foto: Metrotvnews.com
Muhammad Reyhansyah • 27 November 2025 13:05
Jakarta: Kementerian Luar Negeri RI dan Delegasi Uni Eropa (UE) membuka Dialog Lintas Agama dan Lintas Budaya (DLALB) Indonesia–Uni Eropa di Jakarta, Kamis, 27 November 2025. Acara ini menjadi momentum lanjutan dari Human Rights Dialogue RI–UE yang digelar pada Juli 2024 di Brussels, sekaligus mempertegas upaya kedua pihak memperdalam kerja sama berbasis nilai, toleransi, dan keberagaman.
Dalam sambutannya, Deputy Head of Mission EU Delegation to Indonesia and Brunei Darussalam, Stéphane Mechati, menekankan bahwa dialog lintas agama merupakan bagian penting dari pendekatan kedekatan (rapprochement) antara Indonesia dan Uni Eropa. Ia menyebut kedua kawasan memiliki landasan nilai yang jauh lebih serupa daripada yang dibayangkan.
“Uni Eropa sering disebut sebagai blok 27 negara, tetapi sejak awal kami dibangun sebagai persatuan rakyat. Prinsip united in diversity adalah identitas kami, dan nilai itu juga hidup di Indonesia melalui Bhinneka Tunggal Ika,” ujar Mechati.
Mechati menjelaskan bahwa Uni Eropa melihat Indonesia sebagai mitra strategis dalam memajukan toleransi dan koeksistensi damai di tengah meningkatnya polarisasi global. Ia menggarisbawahi bahwa kerja sama ini tidak hanya berangkat dari hukum internasional atau dialog formal, tetapi dari komitmen kedua belah pihak untuk melibatkan masyarakat sipil, tokoh agama, dan aktor budaya.
“Jika kita ingin membangun masyarakat yang inklusif, semua masyarakat harus mendapat ruang untuk bersuara. Indonesia menunjukkan cara bagaimana keberagaman dapat dikelola menjadi kekuatan,” kata Mechati.
Uni Eropa, lanjut Mechati, memang tidak terlibat dalam substansi teologis karena institusinya bersifat sekuler. Namun UE hadir untuk memfasilitasi dialog antar-aktor agama dan budaya, memberikan ruang bagi pertukaran gagasan, serta memperkuat pemahaman bersama tentang nilai toleransi.
Dalam pidatonya, Mechati juga mengingatkan bahwa fondasi hukum Uni Eropa mendukung komitmen terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 serta EU Charter of Fundamental Rights.
Namun ia menegaskan bahwa komitmen tersebut bukan klaim kesempurnaan.
“Kami juga menghadapi tantangan diskriminasi di Eropa. Karena itu, kami tidak menutup mata. Kami membangun program-program khusus untuk memahami dan mengatasi fenomena tersebut,” jelas Mechati.
Mechati mengapresiasi Kementerian Luar Negeri RI atas kerja sama penyelenggaraan DLALB, dan menilai forum ini merupakan bagian dari diplomasi publik yang makin penting bagi hubungan kedua pihak. Ia juga menyinggung kedekatan emosional yang terus tumbuh antara masyarakat Indonesia dan Eropa.
“Jika kita melihat jarak geografis, kita tampak jauh. Tetapi ketika membahas nilai-nilai dasar seperti keragaman, toleransi, dan dialog, Indonesia dan Uni Eropa berada dalam garis yang sama,” ujar Mechati.
Mechati menutup dengan menegaskan kembali pentingnya membangun kepercayaan.
“Dialog ini membantu kita mengatasi prasangka dan mengenal satu sama lain lebih baik. Uni Eropa akan terus menjadi mitra yang terbuka, transparan, dan konsisten dalam memajukan nilai keberagaman,” imbuh Mechati.
Dialog Lintas Agama dan Lintas Budaya RI–UE tahun ini diselenggarakan pada 27 November-1 Desember 2025 di Jakarta dan Yogyakarta menandai diaktifkannya kembali dialog lintas iman yang sebelumnya terakhir berlangsung pada 2012.
Forum ini mempertemukan tokoh agama, akademisi, masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan dari kedua kawasan untuk memperkuat toleransi, pemahaman antarbudaya, serta menghadapi tantangan global bersama. Kegiatan tersebut juga menjadi tindak lanjut dari EU–Indonesia Human Rights Dialogue 2024 dan sejalan dengan komitmen bersama terhadap demokrasi, HAM, dan kebebasan beragama.
Dialog ini disusun berdasarkan tiga subtema: koeksistensi damai lintas agama, peran komunitas beragama dalam menjaga lingkungan, dan agama sebagai pendorong kesetaraan gender.
Selain diskusi substantif di Kemlu dan UIN Yogyakarta, peserta juga dijadwalkan mengunjungi rumah ibadah berbagai agama serta sekolah Muhammadiyah untuk melihat langsung praktik keberagaman di Indonesia.
Baik Indonesia maupun Uni Eropa menekankan bahwa kerja sama lintas iman membutuhkan keterlibatan berkelanjutan dari banyak pemangku kepentingan, dan forum tahun ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret yang memperkaya hubungan bilateral kedua pihak.