Wakil Presiden Filipina Sara Duterte. Foto: Anadolu
Fajar Nugraha • 27 November 2024 19:05
Manila: Polisi Filipina pada Rabu 27 November 2024 resmi mengajukan tuntutan pidana terhadap Wakil Presiden Sara Duterte dan staf keamanannya atas dugaan penyerangan dan ketidakpatuhan terhadap perintah pihak berwenang. Ini terkait dalam insiden yang terjadi baru di Kongres.
Kasus ini menambah ketegangan dalam konflik politik antara keluarga Duterte dan Marcos, dua dinasti politik paling berpengaruh di Filipina.
Peristiwa itu dipicu oleh kericuhan di Kongres, di mana Kepala Staf Wakil Presiden, Zuleika Lopez, sempat ditahan sementara oleh otoritas parlemen.
Lopez dituduh menghalangi penyelidikan kongres terkait dugaan penyalahgunaan dana rahasia dan intelijen selama menjabat sebagai pejabat di bawah pemerintahan Marcos. Ketegangan meningkat ketika pihak berwenang memutuskan untuk memindahkan Lopez ke penjara perempuan di luar Kongres.
Namun, Lopez menjadi sangat gelisah, dan Wakil Presiden Duterte bersama timnya segera turun tangan untuk menentang pemindahan tersebut. Pada akhirnya, Lopez dipindahkan ke sebuah rumah sakit pemerintah dan saat ini masih dalam perawatan.
"Aturan hukum adalah fondasi dari sistem demokrasi kita. Tidak ada seorang pun, terlepas dari posisinya, yang berada di atas hukum," kata Kepala Polisi Nasional Filipina, Jenderal Rommel Francisco Marbil, dilansir dari ABC News, Rabu 27 November 2024.
Ia menambahkan, "Perlawanan terhadap otoritas tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak kepercayaan publik".
Kasus ini semakin memperkeruh konflik antara Duterte dan Presiden Ferdinand Marcos Jr. Konflik antara dua kubu yang awalnya bekerja sama untuk memenangkan Pemilu 2022 telah semakin memanas dalam dua tahun terakhir.
Ketegangan mulai mencuat setelah Sara Duterte keluar dari kabinet Marcos pada Juni 2024, tempat ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan ketua badan anti-pemberontakan.
Sejak itu, Duterte menjadi salah satu kritikus paling vokal terhadap pemerintahan Marcos, termasuk terhadap istrinya, Liza Marcos, dan Ketua DPR Martin Romualdez, yang juga sepupu presiden.
Dalam perkembangan lain, otoritas Filipina telah menyerahkan panggilan kepada Wakil Presiden Duterte terkait ancaman yang dilontarkannya baru-baru ini. Dalam pernyataannya, Duterte mengatakan bahwa ia akan memerintahkan pembunuhan Presiden Marcos, istrinya, dan Romualdez jika dirinya dibunuh.
Namun, Duterte menegaskan bahwa pernyataannya bukan ancaman langsung, melainkan ungkapan kekhawatirannya terhadap keselamatan pribadinya.
Sementara itu, Presiden Marcos dalam pidato publiknya mengecam keras pernyataan Duterte. Ia menyebut hal tersebut sebagai "rencana kriminal" dan berjanji untuk menegakkan hukum serta melawan ancaman tersebut.
Hubungan antara Marcos dan Duterte kini berada pada titik terendah, jauh dari janji kampanye "persatuan nasional" yang mereka usung saat pemilu 2022.
Kedua pemimpin memiliki pandangan yang berbeda dalam berbagai isu strategis, seperti kebijakan terhadap klaim teritorial Tiongkok di Laut China Selatan dan pendekatan terhadap perang narkoba yang kontroversial selama masa jabatan Presiden Rodrigo Duterte.
Kasus ini menandai eskalasi baru dalam rivalitas politik yang melibatkan dua keluarga paling berpengaruh di Filipina. Konflik ini diperkirakan akan memengaruhi dinamika politik nasional, terutama menjelang pemilihan sela pada 2025 dan persiapan menuju Pilpres 2028. (Muhammad Reyhansyah)