Penjualan teh. Foto: Unsplash.
Colombo: Para produsen teh di Sri Lanka menolak kenaikan upah sebesar 70 persen. Produsen teh mengatakan hal tersebut akan membuat teh mereka tidak kompetitif secara global dan mengurangi pendapatan dolar AS yang penting bagi negara kepulauan tersebut untuk keluar dari krisis keuangan.
Industri teh senilai USD1,3 miliar ini memproduksi Teh Ceylon yang populer dan mempekerjakan sekitar 615 ribu pekerja. Pulau ini setiap tahunnya mengekspor sekitar 95 persen dari 250 juta kilo teh yang diproduksinya. Pemerintah telah memerintahkan kenaikan gaji pekerja menjadi 1.700 rupee per hari dari 1.000 rupee, yang menurut industri akan meningkatkan biaya produksi teh sebesar 45 persen.
"Dampak dari krisis keuangan yang berkepanjangan di Sri Lanka, yang disebabkan oleh kekurangan devisa yang parah pada 2022, juga telah memukul industri teh, sehingga meningkatkan biaya pupuk, bahan bakar dan listrik hingga empat kali lipat," kata Asosiasi Pekebun Ceylon (Paoc), dilansir
Business Times, Selasa, 28 Mei 2024.
Juru Bicara Paoc Roshan Rajadurai menuturkan hal ini tidak berkelanjutan dan tidak adil. Dia mengatakan keputusan ini dibuat tanpa konsultasi yang tepat dan akan mengakibatkan kualitas teh Sri Lanka menurun.
"Saingan utama Sri Lanka, India dan Kenya, memiliki harga yang lebih rendah dan produktivitas yang lebih tinggi," tegas dia.
Pengambilalihan perusahaan
Industri teh harus mulai membayar kenaikan gaji mulai bulan depan, Kementerian Tenaga Kerja Sri Lanka memperingatkan perusahaan perkebunan yang menolak untuk mematuhinya dapat diambil alih oleh pemerintah.
"Penerapan kenaikan upah akan menyebabkan perusahaan perkebunan mengeluarkan biaya tambahan sebesar rupee 35 miliar," kata asosiasi tersebut.
Perusahaan perkebunan dan serikat pekerja telah melakukan negosiasi selama berbulan-bulan untuk menaikkan gaji, yang menurut serikat pekerja merupakan hal yang penting karena krisis keuangan di Sri Lanka menyebabkan sekitar seperempat penduduknya jatuh miskin pada 2023.