Implementasi B40 Diterapkan 1 Januari 2025

Ilustrasi biodiesel. Foto: Dokumen Kementerian ESDM

Implementasi B40 Diterapkan 1 Januari 2025

Insi Nantika Jelita • 29 December 2024 15:37

Jakarta: Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot memastikan implementasi program bahan bakar minyak (BBM) solar dengan campuran minyak sawit dengan konsentrasi 40 persen (B40) mulai berjalan pada Rabu, 1 Januari 2025.
 
Kata dia, kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatory B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Angka tersebut mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama.
 
"Kami dengan tim turun mengecek kesiapan implementasi B40 yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. Kami sudah melihat sendiri kesiapan dari sisi industri fatty acid methyl ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati," ujar Yuliot dalam keterangan resmi dikutip Minggu, 29 Desember 2024.
 
Yuliot menegaskan penerapan biodiesel 40 persen (B40) pada tahun depan sebagai bagian dari upaya pemerintah mencapai ketahanan energi, sekaligus dikatakan sejalan dengan asta cita Presiden RI Prabowo Subianto yang menetapkan ketahanan pangan dan energi sebagai prioritas nasional.
 
Kendati demikian, Wamen ESDM itu menyebut terdapat tantangan dalam penerapan B40. Tidak hanya terkait dengan ketersediaan bahan baku, tetapi juga kondisi geografis yang beragam di Indonesia.
 
"Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40," ucapnya.  
 
Pemerintah telah menyelesaikan uji coba penggunaan B40 di sektor otomotif. Saat ini pengujian masih tengah dijalankan di sektor alat berat pertambangan, perkeretaapian, kelautan, alat dan mesin pertanian (alsintan).
 

Baca juga: Bahlil: Program B50 Masih Dikaji, Prabowo Siap Dukung Penerapannya
 

Siapkan dua kilang dukung produksi B40

 
Sementara, Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Didik Bahagia menyampaikan Pertamina telah menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi B40. Yakni, Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga.
 
"Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0, dan insyaallah siap untuk memproduksi B40. Kilang yang akan memproduksi B40 adalah RU III Plaju dan RU VII Kasim, sementara blendingnya dilakukan oleh Patra Niaga," terang dia.
 
Selain B40, pihaknya mengaku telah berhasil memproduksi bioavtur atau sustainable aviation fuel (SAF) dengan campuran 2,4 persen bahan bakar berbasis sawit. Produksi ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing.
 
Didik menuturkan kapasitas pengolahan bioavtur saat ini mencapai 9.000 barel per hari (bph), dengan bahan baku dari produk turunan kelapa sawit, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO).
 
"Uji coba telah dilakukan menggunakan pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 untuk rute Jakarta-Solo pulang pergi," jelas Didik.


(Ilustrasi BBM solar dengan campuran minyak sawit. Foto: Ditjenbun Kementan)
 

Hemat devisa hingga Rp242 triliun

 
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung memperkirakan, program mandatori penerapan campuran biodiesel 40 persen dengan minyak solar dapat menghemat devisa negara hingga USD15 miliar atau sekitar Rp242 triliun (kurs Rp16.185).
 
Dalam data yang dipaparkan Tungkot, penghematan devisa impor solar mengalami peningkatan dari Rp3,7 triliun di 2018 menjadi Rp121,5 triliun di 2023 dengan penerapan B35. Sejak 2024, Indonesia menjadi net importir minyak fosil.
 
Dengan adanya peningkatan biodiesel, Indonesia perlahan mulai mengurangi ketergantungan impor fosil dan digantikan dengan unsur nabati lewat mandatori biodiesel. Meningkatnya konsumsi biodiesel domestik tercatat mengurangi ketergantungan penggunaan impor solar dari 41 persen di 2011 menjadi 18 persen di 2023.
 
"Kalau mandatori biodiesel ini naik menjadi B40 bisa menghemat devisa sekitar USD11 miliar-USD15 miliar (Rp211 triliun-Rp244 triliun). Ini tergantung harga solar internasional," ujarnya dalam diskusi Strategi Meningkatkan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Melalui Hilirisasi beberapa waktu lalu.
 
Tungkot menyampaikan tujuan peningkatan program biodiesel selain untuk substitusi impor solar juga diperlukan sebagai instrumen stabilitas harga minyak sawit dunia. Pasalnya, Indonesia merupakan produsen minyak sawit atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan menyumbang setidaknya 59 persen pasokan minyak sawit global.
 
"Jika tidak dibutuhkan untuk mendongkrak harga internasional, tidak perlu kita paksakan, mandatori biodiesel. Tapi, kalau harga pasar internasional perlu kita gerakan bisa kita terapkan B40," jelasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)