Ekonom Ahli Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah, Gunawan Wicaksono. Foto: Dok pribadi
Eko Nordiansyah • 7 May 2025 11:35
HARI itu hari yang sibuk bagi bu Jun. Anak perempuan satu-satunya, Cia (bukan nama sebenarnya) akan mulai bekerja hari pertama setelah lulus kuliah. Semua usaha keras yang dilakukan selama ini, serasa terbayar lunas. Jalur karir ke depan terbuka lebar, tidak ada diskriminasi, asalkan berusaha pasti bisa tercapai.
Fragmen di atas menggambarkan peluang yang terbuka saat ini bagi kaum perempuan untuk berusaha dan bekerja di Indonesia. Data Bank Dunia menunjukkan peningkatan Gender Parity Index (GPI) dari hanya empat anak perempuan berbanding lima anak laki-laki pada awal 70-an menjadi hampir seimbang pada akhir 2023. GPI menunjukkan perbandingan jumlah perempuan dengan laki-laki yang bersekolah pada pendidikan dasar dan menengah.
Dengan pendidikan, kaum perempuan memiliki pengetahuan dan skill yang lebih baik. Akibatnya, perempuan dapat menjadi pemasok tenaga kerja dengan kompetensi sesuai yang dibutuhkan. Ini tentu berdampak positif bagi peningkatan kapasitas produksi suatu negara. Ini sama saja dengan peningkatan output dan nilai tambah (PDB) yang lebih besar.
Tidak hanya meningkatkan output, peningkatan keterlibatan kaum perempuan dalam faktor produksi tenaga kerja secara langsung juga berarti meningkatkan pendapatan yang diterima. Itu artinya pengeluaran juga akan meningkat dan mendorong terjadinya peningkatan konsumsi secara keseluruhan.
Keterlibatan yang lebih besar kaum wanita pada berbagai aktivitas ekonomi bukan hanya memunculkan peluang peningkatan output bruto, namun juga memunculkan tantangan keberlangsungan produksi itu sendiri.
Fakta yang menarik menunjukkan bahwa ketika kaum wanita semakin banyak masuk dalam dunia kerja untuk turut menopang ekonomi keluarga, angka kelahiran justru menunjukkan penurunan. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi menjadi kecenderungan di seluruh dunia. Bahkan, beberapa negara seperti Tiongkok dan Jepang sudah mulai mengalami tekanan terhadap populasi mereka.
Pada 1960, data Worldbank mengungkapkan Tiongkok dan Jepang masih memiliki angka Total Fertility Rate (TFR) masing-masing 4,4 dan 2,0, masih dalam range cukup ideal di sekitar 2,1. Namun, dalam enam dekade setelah itu, TFR Tiongkok dan Jepang turun drastis menjadi disekitar 1,2 saja. Itu artinya tidak cukup jumlah kelahiran untuk menggantikan yang pensiun dan meninggal. Kondisi Indonesia jauh lebih baik bahkan bisa dikatakan hampir sempurna. TFR yang terlalu tinggi lebih dari 5 pada 1960-an telah berhasil diturunkan menjadi sekitar angka ideal 2,1 pada 2024.
Pertumbuhan ekonomi itu mengikuti sistem dinamis (Forester, System Dynamics) dengan interaksi berkesinambungan antara umpan balik positif (positif loop) dan umpan balik negatif (negative loop). Pada satu masa akan mencapai kapasitas terpasangnya (carrying capacity) yang memunculkan fenomena S-curve, percepatan dan perlambatan pertumbuhan.
Dalam jangka pendek, penurunan tingkat kelahiran, akan membatasi pertumbuhan jumlah penduduk. Itu berarti segala permasalahan terkait penciptaan lapangan kerja, kemiskinan, ketimpangan sosial akan turut menurun. Sayangnya, jika tidak ditata dengan baik, penurunan pertumbuhan jumlah penduduk justru dapat menyebabkan ancaman serius terhadap keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.
(Ilustrasi. Foto: Dok MI)