Penerima Gas Murah Perlu Dievaluasi

Ilustrasi. Foto: dok MI.

Penerima Gas Murah Perlu Dievaluasi

Husen Miftahudin • 10 August 2023 11:06

Jakarta: Pemerintah diminta untuk mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah yang dinilai telah membebani keuangan negara. Pasalnya sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan banderol USD6 per MMBTU telah membuat negara tekor hingga Rp29 triliun. Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsidi gas hulu tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp15 triliun.

"Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subsidi yang dikeluarkan pemerintah," kata Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin, dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 10 Agustus 2023.

Eddy menambahkan, program HGBT ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar karena subsidi itu.

"Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan," lanjutnya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD6 per MMBTU menyebabkan penerimaan negara hilang sebanyak Rp29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

"Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp16,46 trilun pada 2021 dan Rp12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor," jelas Direktur Jenderal Migas Kmeenterian ESDM Tutuka Ariadji beberapa waktu lalu.

Daya saing industri belum meningkat

Menurut Eddy, pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama dua tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara. Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD6 per MMBTU.

"Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service," tandasnya.
 
Ia kemudian mencontohkan masih besarnya impor keramik asal Tiongkok. Padahal melalui program harga gas murah pemerintah berharap perusahaan keramik lokal, yang juga menerima harga gas USD6, mampu bersaing di pasar domestik.

Tidak hanya itu saja, perusahaan keramik yang menerima subsidi ternyata belum bisa maksimal menyerap alokasi gas yang diberikan oleh pemerintah.

Pekan lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut produk keramik asal Tiongkok masih banyak beredar di pasar Indonesia. Banjir keramik asal Negeri Tirai Bambu tersebut menyebabkan utilisasi industri keramik Indonesia menurun.

Pada kuartal I-2023, utilisasi industri keramik Indonesia sebesar 75 persen, turun dibandingkan kuartal I-2022 sebesar 78 persen. "Kami lihat memang banyak produk keramik impor yang beredar di pasar," papar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif.

Berdasarkan data Kemenperin, terdapat sebanyak 217 perusahaan dari tujuh industri penerima HGBT dengan total alokasi sebesar 1.253,36 BBTUD pada 2022. Dari total alokasi tersebut, realisasi volume gas yang terpakai hanya mencapai 83,02 persen atau 1.040,54 BBTUD.

Dari tujuh sektor industri tersebut, dua sektor yaitu industri baja dan keramik merupakan penerima gas subsidi dengan penggunaan gas terendah. Industri baja memperoleh alokasi 76,34 BBTUD kepada 63 perusahaan.

Dari alokasi tersebut, gas yang terserap hanya 67,5 persen atau 51,29 BBTUD. Sementara itu terdapat jatah 130,60 BBTUD gas murah kepada Industri keramik. Sayangnya, yang terpakai hanya 89,66 BBTUD atau 68,65 persen.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)