Kesetaraan Gender dalam Politik Indonesia Jalan di Tempat

Ilustrasi. Medcom

Kesetaraan Gender dalam Politik Indonesia Jalan di Tempat

M Ilham Ramadhan Avisena • 24 August 2025 20:50

Jakarta: Kesetaraan gender di politik Indonesia disebut masih jalan di tempat. Komitmen konstitusi soal kuota perempuan belum dijalankan dengan konsisten, terutama setelah aturan afirmasi di parlemen sempat dihapuskan.

Mantan anggota DPR, Eva Kusuma Sundari, menuturkan rezim kuota yang berlaku hanya berhenti pada tahap pencalonan. Padahal, konsistensi perlu dijalankan hingga ke alat kelengkapan dewan (AKD) agar agenda pengarusutamaan gender dapat benar-benar berjalan.

Eva mengingatkan pada 2008, sebenarnya pernah ada afirmasi kuota di Undang Undang Nomor 13 tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (UU MD3) ketika politikus PKB Ida Fauziah menjabat ketua. Namun, aturan itu dihapuskan pada 2014.

"Jadi kita itu pernah punya afirmasi yang konsisten. Jadi ada di MD3 tapi kemudian dihilangkan," ujar Eva dalam diskusi media bertajuk Afirmasi & Meritokrasi
: Menjamin Keterwakilan Perempuan Parlemen di Pimpinan dan Keanggotaan AKD secara daring, Minggu, 24 Agustus 2025.

Baca Juga: 

Lestari Moerdijat Menyerukan Kesetaraan Gender dengan Langkah Bersama

Dia menilai partai politik justru menjadi pintu awal praktik diskriminasi terhadap perempuan. Kultur patriarkal yang mengakar di partai terbawa ke DPR, sehingga peluang perempuan duduk di posisi strategis makin terbatas.

Dampaknya, kata Eva, terasa nyata dalam pembahasan kebijakan. Menurut dia, isu perempuan sering tersisih karena kepemimpinan didominasi laki-laki. Dia mencontohkan pembahasan RUU PPRT yang tertunda hingga 20 tahun dan RUU TPKS yang butuh 13 tahun untuk disahkan.

Eva menekankan perjuangan kesetaraan tidak boleh berhenti pada akses pencalonan, melainkan juga kontrol di tingkat kepemimpinan. "Karena menjadi pemimpin itu menentukan agenda, menentukan politik pembahasannya. Kemudian menentukan juga isu-isu apa yang mau diprioritaskan untuk dibahas," tutur Eva.

Dia menilai pendidikan politik bagi perempuan yang sudah terpilih juga penting. Mereka harus memahami cara mendorong isu gender dalam legislasi maupun anggaran, tidak hanya terbatas pada komisi yang identik dengan isu tradisional, tetapi juga di bidang strategis.

Eva juga menyinggung alasan meritokrasi yang kerap dijadikan tameng untuk melemahkan afirmasi. Padahal, konstitusi sudah jelas mengatur dukungan pada kesetaraan.

"Jadi (alasan)
meritokrasi yang maunya menetralkan afirmasi itu harus disingkirkan," ujar Eva.

Dia mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengembalikan norma afirmasi ke dalam MD3. Menurut Eva, hal itu akan memperbaiki kualitas demokrasi sekaligus akuntabilitas politik dengan memastikan inklusi perempuan tidak sebatas retorika, melainkan hadir dalam praktik sehari-hari parlemen.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)