Sri Mulyani Diterjang Deepfake, Pembuat dan Penyebar Bisa Dijerat Hukum Pakai Aturan Ini

Tangkapan layar video terduga deepfake Sri Mulyani. (Facebook)

Sri Mulyani Diterjang Deepfake, Pembuat dan Penyebar Bisa Dijerat Hukum Pakai Aturan Ini

Riza Aslam Khaeron • 20 August 2025 14:49

Jakarta: Kasus video palsu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebut guru sebagai "beban negara" menjadi sorotan nasional sejak pertengahan Agustus 2025. Potongan video yang beredar luas di media sosial tersebut disebut-sebut menggunakan teknologi "deepfake" untuk memalsukan pernyataan.

Dalam klarifikasinya, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa video tersebut adalah hasil rekayasa berbasis kecerdasan buatan dan menyesatkan publik.

Melansir pernyataan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, Rabu, 20 Agustus 2025, video tersebut memotong dan mengubah konteks pidato Sri Mulyani di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu. 

"Video tersebut adalah hasil deepfake dan potongan tidak utuh dari pidato Menkeu dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu. Marilah kita bijak dalam bermedia sosial," ujarnya.

Berikut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia terkait pelaku kejahatan deepfake serta sanksi pidananya.
 

Hukum Pidana Pencemaran Nama Baik dan Informasi Palsu

Pelaku deepfake yang memalsukan pernyataan pejabat publik dapat dijerat dengan ketentuan mengenai penyerangan kehormatan/nama baik serta penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan.

Dalam kasus video Sri Mulyani, konten yang memalsukan pernyataan dan menyebarkan tuduhan palsu berpotensi merusak reputasi dan memicu kegaduhan publik.

Mengutip UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah UU Nomor 1 Tahun 2024, unsur dan ancaman pidananya sebagai berikut:

  • Pasal 27A terkait penyerangan kehormatan atau nama baik secara elektronik. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) berupa penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.
  • Pasal 45 ayat (6) terkait tuduhan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (fitnah). Ancama sanksi berupa penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
  • Pasal 28 ayat (3) terkait penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Ancama yang diatur Pasal 45A ayat (3) berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
 

Hukum Penggunaan Wajah dan Suara Korban Tanpa Persetujuan

Deepfake umumnya menggunakan wajah dan suara korban tanpa persetujuan. Data tersebut tergolong data pribadi yang bersifat spesifik, yang secara mendalam di bagian data biometrik, diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

Tindak memperoleh, mengungkap, atau menggunakan data pribadi orang lain tanpa dasar hukum atau tanpa hak dapat dijerat ketentuan pidana dalam UU PDP sebagai berikut:

  • Memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud Pasal 65 ayat (1). Pasal 67 huruf a mengatur hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar.
  • Mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya diatur Pasal 65 ayat (2). Pasal 67 huruf b mengatur hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp4 miliar.
  • Menggunakan data pribadi yang bukan miliknya dijelaskan Pasal 65 ayat (3). Hukuman diatur Pasal 67 huruf c berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar.
 

Wajib Hapus Video Setelah Diberi Peringatan

Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang menampung konten deepfake memiliki kewajiban menurunkan (take down) konten ilegal setelah menerima perintah Menteri/Kominfo.

Mengutip Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, sebagaimana diubah dengan Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021:

  • Perintah take down biasa. Diatur Pasal 15 ayat (6) dan Pasal 16 ayat (7) menyebut konten diturunkan paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak perintah diterima.
  • Perintah take down bersifat mendesak. Untuk konten tentang terorisme, pornografi anak, maupun konten yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum ditaru Pasal 14 ayat (3), Pasal 15 ayat (8) dan (9), serta Pasal 16 ayat (9). Konten diperintahkan untuk take down (ditarik) sesegera mungkin tanpa penundaan, paling lambat 4 (empat) jam sejak peringatan diterima.
  • Sanksi administratif bagi PSE User Generated Content yang lalai dapat dijerat Pasal 15 ayat (10) dan (12), serta Pasal 16 ayat (10) dan (12), denda administratif (PNBP) dan dapat dilanjutkan pemutusan akses (access blocking) jika tetap tidak patuh.
 
Baca Juga:
Klarifikasi Video Sri Mulyani Sebut Guru Beban Negara, Kemenkeu: Itu Hoaks!
 

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Tanggung jawab hukum dalam kejahatan deepfake mencakup beberapa pihak yang berperan dalam proses pembuatan, penyebaran, dan penyimpanan konten palsu. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, berikut rincian pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban

1. Pembuat konten deepfake:

  • Dapat dijerat dengan Pasal 27A UU ITE jika konten menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.
  • Jika tuduhan dalam konten tersebut tidak terbukti, maka dapat dijerat sebagai fitnah menurut Pasal 45 ayat (6) UU ITE.
  • Penting dicatat bahwa Pasal 27A merupakan delik aduan, sehingga hanya dapat diproses jika korban mengajukan pengaduan langsung.

2. Penyebar atau pengunggah ulang konten:

  • Jika diketahui menyebarkan konten bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat, dapat dijerat dengan Pasal 28 ayat (3) jo. Pasal 45A ayat (3) UU ITE.
  • Unsur yang harus dipenuhi adalah pelaku mengetahui bahwa informasi tersebut bohong dan penyebarannya menimbulkan kerusuhan di masyarakat.

3. Platform digital (Penyelenggara Sistem Elektronik / PSE):

  • Wajib melaksanakan perintah pemerintah untuk melakukan pemutusan akses atau takedown konten ilegal sesuai Pasal 40A ayat (2) UU ITE.
  • Jika lalai, PSE dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran, denda, hingga pemutusan akses layanan berdasarkan Pasal 40A ayat (5).

Kasus video palsu yang menyeret nama Sri Mulyani menunjukkan betapa serius dampak kejahatan digital berbasis deepfake terhadap reputasi dan ketertiban publik; dengan perangkat hukum yang telah tersedia, dari UU ITE, UU Pelindungan Data Pribadi, hingga kewajiban takedown oleh platform digital, negara memiliki instrumen lengkap untuk menindak pelaku serta memastikan bahwa ruang digital tetap menjadi ranah yang aman, jujur, dan bertanggung jawab.



Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)