Logo ASEAN. (Medcom.id)
Marcheilla Ariesta • 19 June 2023 13:34
Jakarta: Keputusan Thailand mendorong pertemuan "informal" dengan junta militer Myanmar, di luar pertemuan ASEAN mendapat kritik dari banyak pihak. Termasuk para anggota parlemen ASEAN yang mengurusi Hak Asasi Manusia (APHR).
Langkah Thailand tersebut dinilai sebagai pengkhianatan terhadap rakyat Myanmar dan penghinaan terhadap persatuan ASEAN.
"Ketetapan pemerintah Thailand untuk mengadakan pertemuan ini, meskipun mendapat penolakan dari ketua ASEAN, Indonesia, serta Singapura dan Malaysia, menunjukkan ketidakpeduliannya yang arogan terhadap persatuan ASEAN, hak asasi manusia rakyat Myanmar, dan bahkan kehendak warga negaranya sendiri," kata Wakil Ketua Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) Charles Santiago, dikutip dari pernyataan APHR, Senin, 19 Juni 2023.
"Pemerintah Thailand saat ini kalah telak dalam pemilihan umum baru-baru ini dan tidak lagi memiliki mandat dari rakyat, memulai pembicaraan seperti itu meskipun ini adalah tamparan di wajah para pemilih Thailand," imbuhnya.
Menurut dokumen yang bocor, Menteri Luar Negeri Thailand yang juga Wakil Perdana Menteri, Don Pramudwinai mengirim surat pada 14 Juni mengundang menteri luar negeri ASEAN lainnya untuk "diskusi informal" pada 18-19 Juni.
Tujuan untuk pertemuan itu, untuk sepenuhnya melibatkan kembali ASEAN dengan Myanmar di tingkat pemimpin.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi membalas surat penolakan undangan tersebut pada 15 Juni, sementara Kementerian Luar Negeri Malaysia merilis pernyataan dengan efek yang sama pada 18 Juni.
Menlu Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan, dalam konferensi pers selama kunjungannya ke Amerika Serikat pada 17 Juni bahwa "terlalu dini untuk terlibat kembali dengan junta di tingkat puncak atau bahkan di tingkat menteri luar negeri."
Sementara itu, Filipina belum merilis pernyataan resmi namun kabarnya tidak akan hadir.
Meski demikian, Pramudwinai bersikeras bahwa pembicaraan akan dilanjutkan pada 19 Juni dan Kementerian Luar Negeri Thailand mengatakan, perwakilan tingkat tinggi dari Laos, Myanmar, Kamboja, India, Tiongkok, Brunei, dan Vietnam telah mengonfirmasi kehadiran mereka.
Pertemuan ini mengikuti 'pertemuan track 1.5' sebelumnya yang diadakan di Thailand pada Maret lalu, dan dihadiri oleh Kamboja, Laos dan Vietnam bersama dengan Tiongkok, India, Bangladesh dan Jepang.
"Kami kecewa bahwa Thailand dan negara-negara lain masih bersedia terlibat dengan junta pembunuh Myanmar tanpa ada upaya untuk meminta pertanggungjawabannya, meskipun kekejaman militer terus berlanjut yang telah mengakibatkan kematian ribuan rakyatnya sendiri," seru Santiago.
"Pertemuan ‘Track 1.5’ juga melemahkan kredibilitas ASEAN atas kemampuan mereka untuk menyelesaikan banyak krisis yang terjadi di Myanmar," lanjut dia.
Ia menilai, Indonesia sebagai ketua ASEAN, serta negara-negara anggota ASEAN lainnya, tidak boleh membiarkan pertemuan ini tidak terjawab.
"Harus ada penyelidikan atas pengabaian dan ketidakhormatan Thailand terhadap Ketua saat ini. Meskipun kami menghargai penolakan mereka terhadap pertemuan yang disalahpahami ini, itu tidak bisa berhenti di situ," tegasnya.
"ASEAN harus bekerja sama untuk meminta pertanggungjawaban junta militer, termasuk dengan mereformasi Konsensus Lima Poin yang gagal yang belum membuahkan hasil sejak diadopsi pada April 2021," pungkas Santiago.
Baca juga: Myanmar Diisolasi, Menlu ASEAN Tak Hadir di Pembicaraan Damai Regional Inisiatif Thailand