Jakarta: Program talkshow Kick Andy di Metro TV menghadirkan dua tokoh teknologi Indonesia, yaitu Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika, serta Co-founder & CEO Awanio Irfan Yuta Pratama. Keduanya berbagi perjalanan karier, pandangan mengenai perkembangan teknologi digital, hingga pesan penting bagi generasi muda yang sedang menyiapkan masa depan di dunia kerja berbasis teknologi.
Dalam perbincangan bersama Andy F. Noya, Alamanda Shantika menceritakan kiprahnya sebagai pendiri Binar Academy, lembaga pendidikan teknologi yang berfokus pada skill digital dan proses belajar adaptif. Meski masuk daftar global “144 Female CEOs in Digital Education,” Alamanda menegaskan bahwa penghargaan bukan tujuan utama.
“Yang penting bukan award-nya, tapi dampak yang bisa kita berikan untuk Indonesia,” ujar Alamanda.
Lulusan BINUS University jurusan Teknologi Informasi dan Matematika itu juga menyoroti perubahan besar akibat perkembangan kecerdasan buatan (AI). Alamanda mengungkapkan bahwa Binar kini bahkan memiliki 20 AI agent yang bekerja berdampingan dengan karyawan manusia untuk meningkatkan efisiensi.
“AI membuat pekerjaan lebih cepat, tapi yang tidak tergantikan adalah eksekusi dan kemampuan manusia memahami konteks serta merefleksi kegagalan,” tuturnya.
Tantangan terbesar generasi muda saat ini bukanlah persaingan dengan robot, melainkan
adaptability, kemampuan beradaptasi. Alamanda juga menekankan pentingnya
skill “learn how to learn” karena teknologi berubah sangat cepat.
“Di Binar bukan hanya belajar
what, tapi belajar
how. Proses belajar, gagal, bangkit lagi, itu yang membentuk kemampuan kita,” kata Alamanda.
Ia lalu menyinggung bahaya kebergantungan mahasiswa pada kecerdasan buatan (AI). “AI itu sahabat untuk berdiskusi, bukan tempat bergantung. Yang penting adalah pengalaman. Makanya aku punya hashtag ‘nabung experience’,” ujarnya.
Perjalanan karier Alamanda turut menarik perhatian Andy F. Noya. Ia pernah menjabat Vice President of Product and Technology Gojek ketika perusahaan tersebut menuju status unicorn pertama Indonesia. Namun, Alamanda memilih mundur demi mengejar cita-cita membangun pendidikan teknologi yang lebih inklusif bagi anak muda.
Irfan Yuta: Pentingnya Kedaulatan Digital Indonesia
Pada sesi berikutnya, Co-founder & CEO Awanio Irfan Yuta Pratama berbagi kisah perkembangan perusahaan
cloud computing buatan Indonesia yang telah digunakan di berbagai negara, termasuk Belanda, Swiss, Malaysia, dan Jerman.
“Awanio ini software Indonesia, tapi untuk global. Tingkat komponen dalam negeri kami mencapai 98,68 persen,” ujar Irfan.
Lulus BINUS tahun 2012, Irfan memulai karier dari sektor swasta lalu masuk BUMN selama sembilan tahun. Ia kemudian meraih beasiswa LPDP untuk menempuh studi Master ICT in Business and Public Sector di Leiden University, Belanda. Dari pengalaman melihat Indonesia “dari kejauhan” inilah muncul ide besar membangun teknologi cloud yang mandiri dan aman.
Awanio berawal dari proyek akhir pekan pada 2016. Kala itu banyak developer kesulitan membuat aplikasi karena rumitnya menyediakan infrastruktur cloud. Dari kebutuhan tersebut lahirlah platform yang kini memungkinkan institusi pemerintah maupun swasta menjalankan layanan cloud secara mandiri, on-premise, tanpa ketergantungan pada infrastruktur asing.
Irfan menegaskan bahwa produk cloud lokal penting untuk menjaga kedaulatan digital Indonesia. Ia menyoroti ancaman terhadap keamanan data jika suatu negara menggunakan platform asing, terutama yang tunduk pada regulasi seperti US CLOUD Act.
“Data yang disimpan di platform berbasis AS sewaktu-waktu bisa diakses pemerintah AS untuk alasan apa pun. Ini bukan menakut-nakuti, ini tertulis dalam undang-undang,” jelasnya.
Lebih lanjut Irfan mencontohkan kasus perang Rusia–Ukraina di mana akses berbagai layanan berbasis AS kepada Rusia dihentikan. “Bayangkan jika email Kementerian Pertahanan tidak bisa diakses. Bagaimana kalau itu terjadi pada kita?” katanya.
Menurut Irfan, kedaulatan digital memiliki tiga aspek, yaitu
data sovereignty, software sovereignty, dan
operation sovereignty. Tiga aspek inilah yang harus diperkuat agar Indonesia tidak bergantung pada teknologi negara lain.
Awanio kini berkembang lewat strategi paralel: meluncurkan produk bersamaan di dalam dan luar negeri untuk membangun kepercayaan global terhadap teknologi Indonesia.
“Akhirnya,
word of mouth menjadi kunci. Dari satu customer ke customer lain,” kata Irfan.
Pesan untuk Generasi Muda
Baik Alamanda maupun Irfan menegaskan bahwa peluang karier di bidang teknologi justru semakin besar. Namun kuncinya adalah ketahanan belajar, kreativitas, dan keberanian mencoba hal baru.
“Teknologi bisa berubah cepat, tapi kemampuan manusia untuk berpikir, mengeksekusi, dan mengambil keputusan tetap tak tergantikan,” kata Alamanda.
Sementara Irfan mengajak anak muda agar tidak ragu menciptakan teknologi sendiri. “Indonesia butuh lebih banyak inventor. Dunia juga butuh alternatif teknologi dari negara berkembang. Jadi mulai saja, bahkan dari
weekend project," katanya.
Melalui pengalaman Alamanda Shantika dan Irfan Yuta, keduanya menunjukkan bahwa adaptasi, kemandirian digital, dan kesiapan sumber daya manusia menjadi fondasi penting dalam menghadapi era kecerdasan buatan. Masa depan digital Indonesia berada di tangan generasi muda yang adaptif, inovatif, sekaligus sadar pentingnya kedaulatan data bangsa.