Memajukan Peradaban, Lestari Moerdijat Dorong Peningkatan Kesehatan Fisik dan Mental

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat/Istimewa

Memajukan Peradaban, Lestari Moerdijat Dorong Peningkatan Kesehatan Fisik dan Mental

M Sholahadhin Azhar • 17 September 2025 19:15

Jakarta: Pembangunan sumber daya manusia (SDM) nasional harus mampu diwujudkan melalui upaya peningkatan kesehatan fisik dan mental masyarakat secara seimbang. 

"Kemajuan peradaban mesti diimbangi dengan pembangunan manusia yang sehat jasmani rohani. Karena itu negara harus mampu menjamin kesehatan fisik dan mental/jiwa setiap warga negaranya secara seimbang," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat pada Rabu, 17 September 2025.

Hal itu diungkap dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Pendidikan Keluarga untuk Mewujudkan Kesehatan Jiwa Holistik. Agenda digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu, 17 September 2025.

Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan dr. Edduwar Idul Riyadi, SpKJ (Staf Ahli Madya Analis Kebijakan Kesehatan Dit. Yankes Kelompok Rentan, Kementerian Kesehatan RI), Dr. Tjut Rifameutia, M.A., Psikolog (Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia), Ika Shinta Sari. S.Psi, PSI, MNLP (Psikolog & Konsultan Kesehatan Holistik), dan Abdul Kohar (Direktur Pemberitaan Media Indonesia) sebagai narasumber. 
 

Baca: Kemampuan Adaptasi Perlu Ditingkatkan untuk Hadapi Pesatnya Perubahan Teknologi

Selain itu hadir pula Okky Asokawati, S. Psi, M. Psi (Ketua Bidang Kesehatan DPP Partai NasDem) sebagai penanggap. Menurut Lestari, upaya penanganan kesehatan mental masyarakat membutuhkan campur tangan pemerintah dan keluarga. Pendidikan keluarga, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk memberikan pemahaman tentang kesehatan mental.

Apalagi, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II itu, hasil survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 menyebutkan bahwa satu dari tiga remaja (34,9%) atau setara dengan 15,5 juta remaja Indonesia memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental. 

Padahal, tambah Rerie, secara formal, Indonesia telah memiliki UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa namun telah dicabut dan diintegrasikan ke dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Namun, tegas Rerie, implementasi kebijakan tersebut masih jauh dari harapan. Sistem layanan kesehatan jiwa saat ini, tambah dia, masih mengalami kekurangan tenaga profesional dan panduan operasional untuk mengintegrasikan layanan kesehatan jiwa yang menyeluruh. 

Selain itu, jelas Rerie, hanya sebagian kecil dari anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan mental, dan dua pertiga dari dana yang terbatas itu masih diarahkan ke rumah sakit jiwa, bukan layanan preventif yang berbasis masyarakat.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap, para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah mampu menanamkan pemahaman terkait pentingnya kesehatan jiwa sejak di lingkungan keluarga. 

Pasalnya, tegas dia, pendidikan berperan strategis dalam membentuk pemahaman yang dapat mempengaruhi persepsi publik, meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan jiwa, serta mendorong upaya pencegahan gangguan kesehatan jiwa sejak dini. 

Edduwar Idul Riyadi mengungkapkan, masalah kesehatan jiwa/mental ditangani pada Direktorat Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan yang antara lain juga menangani penyandang disabilitas dan kesehatan para lansia. 

Menurut Edduwar sejatinya gangguan jiwa menjadi penyebab ke-2 hilangnya tahun-tahun produktif seseorang, sehingga yang bersangkutan mengalami disabilitas. 

Data Survei Kesehatan Jiwa Nasional pada 2022, ungkap dia, pada rentang usia di atas 15 tahun tercatat 2% warga negara Indonesia pernah mengalami gangguan jiwa dan pada rumah tangga tercatat 0,4% anggota rumah tangga mengalami masalah kejiwaan. 

Dari catatan tersebut, menurut Edduwar, sebanyak 87% penderita gangguan jiwa tidak memeriksakan ke sarana layanan kesehatan yang ada. 

Edduwar berpendapat, pendidikan terkait kesehatan jiwa di keluarga harus ditekankan sejak dini.  Peran pengasuhan di lingkungan keluarga, tegas dia, sangat penting dalam membangun kualitas kesehatan mental anggota keluarganya. 

Menurut Edduwar, perlu upaya terintegrasi lintas program dan lintas sektor untuk mencegah hingga menangani masalah kesehatan jiwa di tanah air. 

Tjut Rifameutia berpendapat, kita perlu menyikapi secara serius peningkatan kasus gangguan jiwa di Tanah Air.  Menurut Tjut, kesehatan jiwa merupakan kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, dan spiritual. 

Kesehatan jiwa holistik, jelas dia, tergantung terciptanya keseimbangan manusia pada aspek fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual. Pendidikan kesehatan jiwa secara holistik, tambah Tjut, harus berfokus pada keseimbangan seluruh aspek pencegahan dan penguatan ketahanan jiwa masyarakat. 

Pendidikan di keluarga, tegas dia, merupakan fondasi utama dalam membentuk kesehatan jiwa secara holistik.  Menurut Tjut, orang tua harus peka terhadap perubahan yang terjadi pada anak, sehingga orang tua dapat berperan sebagai agen deteksi dini kesehatan mental bagi anggota keluarganya. 

Pendidikan keluarga, tegas Tjut, harus menjadi bagian strategi dari upaya mengatasi masalah kesehatan jiwa di tanah air. Ika Shinta Sari mengungkapkan, saat ini kasus depresi dan kecemasan di masyarakat meningkat signifikan. 

Faktor pemicunya, menurut Ika, berakar di lingkungan keluarga, baik terkait tekanan ekonomi, pola asuh, dan kurang komunikasi antar anggota keluarga. 

Menurut Ika, saat ini berkembang pertanyaan, "Apakah keluarga sudah menjadi rumah aman bagi anggota keluarganya?' Ika berpendapat, 95%-99% pikiran bawah sadar manusia sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. 

"Bila pikiran bawah sadar seseorang mengalami luka pada masa lalu, akan mempengaruhi perkembangan jiwa seseorang dalam kehidupannya," ujar Ika. 

Ika berpendapat, pendidikan emosi sejak dini dan dialog terbuka dan mendalam sangat penting dalam proses pendidikan di keluarga.  Abdul Kohar menyatakan, gangguan stres pada anak ternyata tidak selalu bersumber dari keluarga yang tidak utuh. Pada keluarga yang utuh, tambah Kohar, tingkat stres pada anak juga tinggi. 

Stres pada anak, menurut Kohar, merupakan embrio awal yang berpotensi menghadirkan gangguan jiwa di masa dewasa. Mengutip sebuah survei, Kohar mengungkapkan, 143 juta orang Indonesia saat ini aktif di media sosial dengan rata-rata 3 jam 8 menit dalam sehari. 

Paparan media sosial, ujar dia, ikut berperan dalam perkembangan kesehatan jiwa anak saat ini.  Menurut Kohar, ruang publik yang sempit merupakan salah satu faktor pemicu gangguan kesehatan jiwa di masyarakat.

Sehingga, jelas Kohar, pemerintah memiliki peran penting untuk mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan melalui sejumlah kebijakan yang dibuat. Pada kesempatan itu, Okky Asokawati mengungkapkan, intervensi di setiap siklus kehidupan dengan cara-cara positif harus mampu diwujudkan. 

Namun, Okky mempertanyakan, sejauh mana pemerintah mampu mengintervensi di setiap siklus kehidupan.  Kolaborasi pemerintah dan perguruan tinggi, ujar Okky, sangat dibutuhkan agar layanan kesehatan jiwa masyarakat dapat ditangani dengan baik hingga menjangkau di tingkat daerah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)