Rudal Agni V yang dikembangkan oleh India. Foto: EFE-EPA
Srinagar: Hubungan panas antara India dan Pakistan kembali memuncak setelah kedua negara saling menuduh kelalaian dalam pengelolaan senjata nuklir, hanya beberapa hari setelah mereka nyaris terjerumus ke dalam konflik militer paling serius dalam dua dekade terakhir.
Dalam pidato kepada pasukan di Kashmir yang dikuasai India, Menteri Pertahanan India Rajnath Singh mempertanyakan keamanan senjata nuklir Pakistan dan menyerukan agar IAEA (Badan Energi Atom Internasional) mengawasi persenjataan nuklir Islamabad.
“Saya ingin bertanya kepada dunia: apakah senjata nuklir aman di tangan negara yang tidak bertanggung jawab?” kata Singh.
“Saya percaya senjata nuklir Pakistan harus berada di bawah pengawasan IAEA,” Singh menambahkan.
Sebagai respons, Menteri Luar Negeri Pakistan Ishaq Dar menyatakan bahwa justru India yang patut diselidiki atas dugaan perdagangan gelap bahan nuklir dan radioaktif.
“Insiden pencurian dan peredaran ilegal bahan radioaktif di India menunjukkan adanya pasar gelap untuk material sensitif,” tegas Dar. Ia mendesak penyelidikan oleh IAEA terhadap India.
Gencatan senjata diperpanjang
Mengutip dari
Channel News Asia, Jumat 16 Mei 2025, meskipun ketegangan meningkat secara diplomatik, kedua negara telah sepakat untuk memperpanjang gencatan senjata hingga Minggu. Komunikasi militer ke militer berhasil mencegah konflik lebih lanjut setelah empat hari pertempuran intens sejak 7 Mei, yang dipicu serangan udara India ke wilayah Pakistan menyusul serangan maut di Kashmir sebulan sebelumnya.
Pertempuran yang berlangsung dengan drone, rudal, dan artileri telah menewaskan hampir 70 orang, termasuk puluhan warga sipil di kedua sisi perbatasan.
Pakistan membantah tuduhan India bahwa mereka mendukung kelompok militan yang dituduh bertanggung jawab atas serangan 26 April di Kashmir, yang menewaskan 26 orang dan menjadi serangan paling mematikan terhadap warga sipil dalam beberapa dekade.
Ancaman nuklir
Kedua negara, yang merupakan kekuatan nuklir dan anggota IAEA, telah berulang kali menegaskan bahwa konflik skala penuh akan berakibat fatal. Juru bicara militer Pakistan Ahmed Sharif Chaudhry menyebut potensi perang sebagai “kebodohan total.”
“Konflik seperti itu dapat membahayakan 1,6 miliar jiwa. Tidak ada ruang untuk perang antara India dan Pakistan,” tegas Chaudhry.
Presiden AS Donald Trump turut campur tangan dan mengumumkan gencatan senjata mendadak, yang sejauh ini masih bertahan meski kedua pihak sempat menuduh satu sama lain melanggar kesepakatan.
Namun demikian, retorika keras terus berlanjut. PM Pakistan Shehbaz Sharif menyampaikan kekhawatiran kepada Sekjen PBB atas "pernyataan provokatif dan inflamasi" dari para pemimpin India, yang dianggap mengancam perdamaian regional.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar menyatakan bahwa perjanjian air antara kedua negara akan tetap ditangguhkan sampai "terorisme lintas batas dari Pakistan benar-benar dihentikan". Pernyataan itu ditanggapi Dar dengan tegas, bahwa perjanjian tersebut “bukan wilayah yang bisa diubah sepihak.”
Situasi keamanan di Kashmir tetap genting. Polisi India mengklaim membunuh tiga militan di distrik Pulwama pada Kamis dan tiga lainnya pada Selasa dalam bentrokan terpisah.
Sejak India mencabut status otonomi Kashmir pada 2019 dan memberlakukan pemerintahan langsung dari New Delhi, aksi militan di wilayah tersebut meningkat tajam. Wilayah mayoritas Muslim ini telah lama menjadi titik konflik yang diperebutkan India dan Pakistan sejak kemerdekaan dari Inggris tahun 1947.
(Muhammad Reyhansyah)