Regulasi Sudah Ketinggalan Zaman, Perlindungan Pekerja Ojol Jadi Perhatian

Ilustrasi. Foto: dok Istimewa.

Regulasi Sudah Ketinggalan Zaman, Perlindungan Pekerja Ojol Jadi Perhatian

Husen Miftahudin • 1 October 2025 10:47

Jakarta: Perlindungan hukum dan kepastian regulasi bagi pekerja lepas seperti pengemudi ojek online (ojol), menjadi perhatian sejumlah pihak. Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Ekonomi Gig pun diusulkan guna menjawab kebutuhan zaman.

"Kami sudah memasukkan unsur pekerja ojek online dalam revisi UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Ketenagakerjaan, sekaligus mengusulkan RUU Perlindungan Pekerja Ekonomi Gig yang di dalamnya juga mengatur secara khusus pekerja ojol," ungkap Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI M Sarmuji dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 1 Oktober 2025.

Selain itu, jelas dia, Fraksi Golkar juga aktif mendorong agar materi perlindungan pekerja ojol tercantum dalam revisi RUU Perubahan Ketiga atas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

"Pak Ridwan Bae di Komisi V terus mengawal revisi UU LLAJ ini agar pekerja ojol yang selama ini belum diatur secara memadai bisa mendapatkan tempat dalam hukum," jelas Sarmuji.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu juga mengapresiasi langkah pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan yang telah menyusun RUU tentang Pekerja Platform dan RUU tentang Pekerja Lepas.

"Upaya ini penting untuk menjawab kebutuhan zaman, di mana pekerjaan berbasis platform digital terus berkembang tetapi regulasinya masih tertinggal. Ini agar kebijakan yang lahir benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka," tegas Sarmuji.
 

Baca juga: Agar Seimbang, Pemerintah Perlu Intervensi Industri Transportasi Online


Ilustrasi. Foto: dok MI/Bary Fathahilah.
 

Kebijakan harus berbasis data


Associate Professor Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (DPWK) Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Okto R. Manullang menyampaikan sejumlah pendapat dan usulannya yang berbasis riset mendalam tentang transportasi online di sejumlah negara.

Okto menekankan kebijakan transportasi online harus berbasis data. "Kredibilitas data adalah ketika data mampu menghadirkan perdebatan demokratis. Jika negara gagal mendaftarkan problematika masyarakat, maka isu tersebut bisa hilang dari agenda kebijakan," sebut dia.

Okto juga menyoroti praktik negara-negara ASEAN dalam mengatur industri ride-hailing. Brunei, Kamboja, dan Myanmar membatasi biaya sewa aplikasi maksimal 10 sampai 20 persen, sementara Indonesia menetapkan 15 persen dan lima persen.

"Namun Vietnam memilih menyerahkan tarif komisi pada mekanisme pasar, yakni 20-30 persen, dan Singapura sudah melangkah lebih jauh dengan mengatur pekerja platform," urai dia.

Di Indonesia, ia menegaskan mitra pengemudi adalah faktor produksi utama di era ekonomi digital. Menurut dia, formulasi biaya operasional kendaraan (BOK) tidak bisa lagi hanya melihat aspek jarak tempuh.

"Kita harus mengakui mitra mengeluarkan investasi mandiri untuk memiliki aset produksinya," kata dia. Karena itu, Okto mengusulkan perhitungan tarif yang lebih dinamis dengan mempertimbangkan peak, off-peak, serta kondisi lapangan, termasuk surcharge.

Dia mengingatkan perlunya regulasi adaptif yang tidak sekadar formalistik. "Pemerintah tidak cukup hanya menetapkan batas tarif. pemerintah harus mendefinisikan parameter, kondisi, dan mekanisme penghitungan tarif agar terjadi keseimbangan struktural antara pengemudi, pengguna, dan aplikator," papar dia.

Okto menutup pemaparannya dengan menekankan formalisasi gig workers seharusnya fokus pada proteksi sosial, sekaligus mengakomodasi aspek surcharge pricing, platform fee, dan keselamatan, agar tercapai keadilan bagi semua pihak.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Husen Miftahudin)