Ilustrasi Monolog Cut Nyak Dhien. Foto: Istimewa
Aceh: Terlahir sebagai perempuan, tidak membatasi Cut Nyak Dhien -pahlawan nasional asal Aceh- untuk bertempur di medan perang melawan penjajah Belanda. Sosoknya yang berani, membuat banyak pasukan Belanda tewas di tangannya.
Lantas bagaimana kisah perjuangan Cut Nyak Dhien mengusir penjajah dari Tanah Serambi Mekah?
Dalam catatan sejarah perjuangan Indonesia, nama Cut Nyak Dhien dari Aceh bersinar terang sebagai simbol ketangguhan dan keberanian perempuan. Terlahir sebagai bangsawan pada 1848, Cut Nyak Dhien menolak untuk berdiam diri. Dia justru maju ke garis depan, memimpin perlawanan sengit melawan kolonial Belanda.
Semangat pantang menyerahnya, bahkan setelah ditinggal syahid oleh dua suaminya, menjadikannya legenda hidup yang menggetarkan pasukan penjajah. Aksi serta kisahnya menginspirasi rakyat Aceh.
Latar Belakang dan Awal Perlawanan
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kabupaten Aceh Besar, dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Pendidikan agama yang kuat membentuknya menjadi pribadi yang tabah dan tawakal.
Perlawanannya terhadap Belanda dimulai secara personal setelah suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga, gugur dalam pertempuran pada 1878. Kesedihan mendalam itu berubah menjadi tekad baja untuk balas dendam dan mengusir penjajah dari Tanah Serambi Mekah.
Ilustrasi Monolog Cut Nyak Dhien. Foto: Istimewa
Bersatu dengan Teuku Umar dan Strategi Gerilya
Pada 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, seorang pejuang yang mendukungnya untuk turun langsung di medan perang. Bersama suami keduanya, perlawanan dilanjutkan secara gerilya.
Pasangan ini bahkan merancang siasat cerdik, kala itu Teuku Umar pura-pura berpihak kepada Belanda untuk mempelajari taktik dan mendapatkan persenjataan. Setelah tiga tahun, mereka kembali ke kubu pejuang Aceh dengan membawa seluruh perlengkapan perang tersebut.
Kegigihan di Tengah Duka
Strategi Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien membuat Belanda murka. Dalam sebuah pertempuran sengit pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur tertembak. Saat anaknya, Cut Gambang, menangis haru, Cut Nyak Dhien justru menamparnya dan berpesan,
"Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid."
Kalimat ini mencerminkan tekadnya yang tak pernah pupus, meski harus berjuang sendirian.
Memimpin Perlawanan di Usia Senja
Kematian Teuku Umar tidak menyurutkan semangat Cut Nyak Dhien. Ia mengambil alih komando dan memimpin perlawanan dari daerah pedalaman Meulaboh. Di usianya yang menginjak 50 tahun, dengan kondisi mata yang mulai rabun, dan tubuh yang renta penyakit, Cut Nyak Dhien tetap bergerilya. Namun, kondisi pasukannya yang semakin lemah dan kesulitan logistik membuat perlawanan kian terdesak.
Pengkhianatan dan Pengasingan
Kegigihan Cut Nyak Dhien akhirnya harus berakhir karena pengkhianatan. Salah satu anak buahnya, Pang Laot, karena iba melihat kondisi sang pemimpin, melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda. Pada 1905, markasnya di Beutong Le Sageu diserang. Cut Nyak Dhien yang berusaha melawan dengan rencong akhirnya berhasil ditangkap dalam kondisi yang sudah sangat lemah.
Museum Cut Nyak Dhien.
Akhir Hayat dan Warisan Abadi
Untuk mencegah pengaruhnya bangkit kembali di Aceh, Belanda mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat, pada 1906. Identitasnya disembunyikan, dan ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai tahanan politik hingga wafat pada 6 November 1908.
Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1964. Kisah Cut Nyak Dhien juga diangkat menjadi film sejarah Indonesia pada 1988. Film ini mengisahkan perjuangan Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim bertempur melawan Belanda yang kala itu mengusai Aceh.