Penerimaan Negara Bakal Terancam Akses Bebas Tarif Produk AS

Ilustrasi. Foto: Freepik.

Penerimaan Negara Bakal Terancam Akses Bebas Tarif Produk AS

Insi Nantika Jelita • 17 July 2025 19:10

Jakarta: Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang diumumkan bulan ini akan mengancam penerimaan negara nasional, khususnya menyangkut kebijakan akses bebas tarif dan non-tarif bagi produk asal AS.

 
"Secara struktural, kebijakan ini dapat membawa risiko terhadap penerimaan negara melalui dua jalur utama," ujarnya kepada Media Indonesia, Kamis, 17 Juli 2025.
 
Pertama, kebijakan tarif nol persen untuk produk AS berpotensi menyebabkan peningkatan signifikan impor, mengingat produk-produk AS seperti komoditas pangan yaitu kedelai dan gandum, produk energi berupa minyak mentah dan elpiji, serta barang konsumsi seperti elektronik dan farmasi akan semakin kompetitif di pasar domestik. Akibatnya, produsen lokal akan menghadapi tekanan besar karena daya saing barang domestik berkurang dibandingkan produk impor yang lebih murah. 
 
Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya substitusi produk lokal oleh produk impor dalam jangka pendek hingga menengah. Josua mengatakan apabila industri lokal terpukul, bakal mempengaruhi penerimaan negara dari sektor domestik.
 
"Pajak penghasilan perusahaan dan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri pun dapat mengalami perlambatan," tegas dia.
 

Tarif 19% masih jadi hambatan

 
Kedua, penurunan tarif ekspor produk Indonesia ke AS dari rencana semula 32 persen menjadi 19 persen sebenarnya cukup membantu dalam mempertahankan pasar ekspor Indonesia di AS. Namun, tarif 19 persen ini masih merupakan hambatan yang signifikan, walaupun lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam (20 persen). 
 
Efek positif yang didapat dari pengurangan tarif ini adalah menghindarkan potensi kerugian yang lebih besar apabila tarif tetap berada di angka 32 persen. Namun, peningkatan ekspor akibat penurunan tarif ini diperkirakan relatif terbatas. Ini karena pasar AS menyumbang sekitar 10 persen dari total ekspor Indonesia, atau sekitar dua persen dari produk domestik bruto (PDB).
 
"Jadi, dampak positifnya terhadap penerimaan negara mungkin akan bersifat terbatas," jelas Josua.
 
Dia menekankan jika kebijakan tarif nol persen tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan daya saing dan produktivitas sektor domestik secara signifikan, maka dampak jangka pendek hingga menengah terhadap penerimaan negara bisa cenderung negatif. 
 
Potensi risiko penurunan penerimaan negara akibat tekanan terhadap industri lokal harus segera diantisipasi melalui strategi hilirisasi, diversifikasi ekspor ke negara lain selain AS, peningkatan efisiensi dan kualitas produk lokal, serta penguatan investasi sektor riil. 
 
Menurut Josua, tanpa antisipasi yang baik, kesepakatan dagang ini dapat memperbesar risiko defisit perdagangan dengan AS. "Pada akhirnya berdampak pada melemahnya struktur penerimaan negara dalam jangka panjang," tutup dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Ade Hapsari Lestarini)