Foto resmi Gedung Putih Presiden Donald Trump. (Trump-Vance Transition Team/EPA-EFE)
Riza Aslam Khaeron • 10 April 2025 11:48
Washington DC: Dalam dua minggu terakhir, dunia menyaksikan gejolak ekonomi global akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Gelombang tarif yang dikenakan pada berbagai negara sempat memicu kepanikan pasar, sebelum akhirnya Trump secara mendadak mengumumkan penundaan tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara pada Rabu, 9 April 2025.
Melansir CBS News pada hari yang sama, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut bahwa tarif-tarif ini adalah bagian dari “strategi negosiasi.” Ia menyatakan, “Kami melihat strategi negosiasi yang berhasil yang diterapkan Presiden Trump seminggu yang lalu – ini telah membawa lebih dari 75 negara untuk maju dan bernegosiasi.”
Bessent menambahkan bahwa Amerika Serikat siap membuka pintu dialog dan memberikan tarif dasar sebesar 10 persen bagi negara-negara yang ingin berdialog. Ia menyebut bahwa inilah saatnya untuk merealisasikan “visi Presiden untuk Era Keemasan Baru Perdagangan Global.”
Namun, penundaan mendadak ini tidak luput dari kritik. Ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai strategi pemerintahan Trump yang dinilai kacau, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menjawab di hadapan Kongres, “Kami mencoba mengatur ulang sistem perdagangan global yang telah memindahkan semua pabrik kami ke luar negeri” sebagaimana dikutip The Independent pada Rabu, 9 April 2025.
Komentar-komentar inilah yang memicu spekulasi bahwa pemerintahan Trump memiliki rencana benar yang dimulai dengan kebijakan Tarif yang mendorong apa yang disebut para ahli ekonomi sebagai perjanjian ekonomi internasional baru yang dikenal sebagai "Perjanjian Mar-a-Lago."
Istilah ini merujuk pada resor milik Trump di Florida dan dianggap sebagai cerminan dari upaya besar untuk merombak sistem keuangan dan perdagangan global yang lebih menguntungkan AS. Namun, apa sebenarnya isi dari rencana ini dan seberapa realistis implementasinya?
Gagasan Inti Perjanjian Mar-a-Lago
Mengutip ABC News pada Kamis, 10 April 2025, Trump telah mengumumkan tarif baru yang dikenal sebagai tarif "Hari Pembebasan" dengan besaran mencapai 49 persen.
“Negara-negara ini menelepon kami, mencium pantat saya,” ujar Trump dalam sebuah acara Partai Republik di Washington. Banyak negara segera menanggapi dengan menawarkan pemangkasan tarif mereka terhadap produk AS dan meningkatkan pembelian ekspor Amerika.
Menurut penulis Patrick Martin dan Will Jackson, para penasihat Trump mungkin memiliki ambisi lebih besar: bukan sekadar mendapatkan kesepakatan dagang yang lebih baik, tetapi mendorong restrukturisasi menyeluruh terhadap sistem perdagangan global. Inilah yang disebut sebagai Perjanjian Mar-a-Lago.
Gambar: Tingkat pekerjaan di sektor manufaktur AS terus mengalami penurunan sejak 1947. (via Federal Bank of St. Louis)
Perjanjian Mar-a-Lago adalah sebuah rencana ekonomi yang terinspirasi oleh Plaza Accord 1985, ketika Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya bersepakat untuk menurunkan nilai dolar demi memperkuat sektor manufaktur AS yang sedang mengalami penurunan dan kesulitan bersaing dengan Tiongkok.
Beberapa pihak meyakini bahwa tarif-tarif ini hanyalah langkah awal dari sebuah strategi besar untuk merombak perdagangan global, memperkuat manufaktur AS, mengurangi defisit anggaran AS, dan membuat sekutu-sekutu Amerika membayar biaya perlindungan keamanan yang selama ini disediakan oleh AS.
Dalam versi Trump, sebagaimana dijabarkan oleh ekonom Stephen Miran dalam
paper yang dia tulis yang kini menjabat sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi AS, gagasan ini mencakup beberapa elemen fundamental.
Karena itu, trump ingin negara-negara lain untuk menaikkan nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar AS. Tujuannya adalah membuat ekspor AS lebih kompetitif, impor menjadi lebih mahal, dan kemudian mengatasi defisit perdagangan sehingga mendukung kebangkitan industri manufaktur domestik.
Menurut Miran dalam esainya, “kelebihan valuasi” dolar AS menyebabkan defisit perdagangan kronis dan penurunan kapasitas industri nasional.
Dalam perjanjian ini, mitra dagang AS diharapkan menjual aset dolar dan mengganti kepemilikan surat utang jangka pendek dengan obligasi abad (century bonds). Obligasi ini tidak membayar bunga tahunan, tetapi menghasilkan nilai besar pada saat jatuh tempo 50 hingga 100 tahun ke depan.
Strategi ini diyakini bisa memberikan ruang fiskal bagi AS untuk membiayai pengeluaran globalnya, termasuk belanja militer yang luas.
Tarif dijadikan sebagai alat tawar atau ancaman utama untuk mendorong negara-negara lain menyetujui pengaturan ini. Sebagaimana ditulis Miran, “Presiden Trump memandang tarif sebagai alat negosiasi untuk membuat kesepakatan.” Jika ancaman tarif tidak cukup, AS juga dapat mengancam akan menarik jaminan keamanan militernya kepada negara-negara yang tidak mau bekerja sama.
Saat ditanya Bloomberg bulan lalu apakah perjanjian mata uang sedang disiapkan, Miran menjawab, “Kami memulai dengan tarif,” dan menambahkan, “Apakah suatu saat [perjanjian mata uang] bisa dipertimbangkan? Tentu saja bisa. Tapi saat ini presiden fokus pada tarif.”
Miran menekankan bahwa dalam strategi ini, perdagangan internasional, keamanan nasional, dan sistem keuangan tidak dapat dipisahkan. AS akan memanfaatkan posisinya sebagai pelindung militer dan penyedia mata uang cadangan dunia untuk menegosiasikan ulang seluruh sistem ekonomi global.
Strategi ini, jika diterapkan sepenuhnya, akan membutuhkan kesediaan negara-negara mitra untuk menerima kerugian jangka pendek pada ekspor mereka demi stabilitas ekonomi jangka panjang yang dijanjikan oleh kerja sama dengan AS.
Namun, sebagaimana disebutkan dalam artikel ABC News, “hal ini akan membuat ekspor negara-negara peserta menjadi kurang kompetitif.” Dengan demikian, kerja sama dalam Perjanjian Mar-a-Lago bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga keputusan politik dan strategis tingkat tinggi.
Meskipun Miran menyebut bahwa dokumen yang ia susun hanyalah "menu kebijakan" dan bukan saran tunggal, banyak analis memandang esai tersebut sebagai peta jalan strategis yang tengah diuji oleh pemerintahan Trump.
Penolakan dan Skeptisisme Global
Walau demikian, banyak pihak menilai rencana ini mustahil diterapkan. David Henig dari European Centre of International Political Economy menyebut, “Saya tidak yakin ada cukup keterampilan dan kapasitas analitik di Gedung Putih saat ini untuk menjalankan [perjanjian mata uang] ini.”
Ia juga menekankan bahwa kesepakatan seperti ini membutuhkan koordinasi dan keahlian luar biasa yang belum tampak dari pemerintahan Trump saat ini.
Jenny Gordon, mantan kepala ekonom di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, menyebut bahwa logika di balik ide Miran cacat karena “Perlakuan Trump terhadap sekutu-sekutunya hampir tidak memberikan jaminan bahwa mematuhi perjanjian semacam itu akan membawa stabilitas. Bahkan jika cukup banyak negara mematuhi, itu tidak akan menyelesaikan masalah defisit AS.”
Lord Daniel Hannan, Presiden Initiative for Free Trade dan anggota House of Lords Inggris, juga mengkritik keras rencana ini. “Ini adalah kebijakan yang paling merusak dan benar-benar tidak perlu,” kata Hannan.
“Ini sepenuhnya akibat dari diri sendiri. Jika kalian memang berpikir bahwa defisit manufaktur adalah masalah, ini bukan cara untuk menyelesaikannya. Tidak mungkin bisa sekaligus menangani masalah defisit dan mempertahankan dolar AS yang terdevaluasi sebagai mata uang dunia,” ujar Hannan.