Nyamuk jenis Anopheles. (EPA-EFE)
Marcheilla Ariesta • 19 November 2024 17:06
Jenewa: Penyebaran nyamuk di Afrika Timur yang berkembang biak di daerah perkotaan dan kebal terhadap insektisida memicu lonjakan penyakit malaria. Kasus ini dapat membalikkan kemajuan selama puluhan tahun dalam melawan penyakit tersebut.
Afrika menyumbang sekitar 95 persen dari 249 juta kasus malaria dan 608.000 kematian di seluruh dunia pada 2022, menurut data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mereka menyatakan, anak-anak di bawah usia 5 tahun menyumbang 80 persen kematian di wilayah tersebut.
Namun, munculnya spesies nyamuk invasif di benua tersebut dapat meningkatkan jumlah tersebut secara besar-besaran.
Anopheles stephensi berasal dari beberapa wilayah Asia Selatan dan Timur Tengah, tetapi pertama kali ditemukan di negara kecil Tanduk Afrika, Djibouti, pada 2012.
Djibouti hampir berhasil memberantas malaria, tetapi kemudian penyakit itu muncul kembali secara perlahan namun pasti selama tahun-tahun berikutnya. Tercatat jumlah kasus mencapai lebih dari 70.000 pada tahun 2020.
Kemudian, Anopheles stephensi tiba di negara tetangga Ethiopia.
“Penyakit ini menjadi kunci terjadinya peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari 4,1 juta kasus malaria dan 527 kematian tahun lalu menjadi 7,3 juta kasus dan 1.157 kematian antara 1 Januari dan 20 Oktober 2024,” kata WHO, dikutip dari VOA, Selasa, 19 November 2024.
Tidak seperti spesies lain yang bersifat musiman dan lebih menyukai daerah pedesaan, stephensi tumbuh subur sepanjang tahun di daerah perkotaan. Mereka berkembang biak di tangki penyimpanan air buatan, talang atap, atau bahkan unit pendingin udara.
Virus ini tampaknya sangat resistan terhadap insektisida, dan menggigit lebih awal di malam hari dibandingkan pembawa lainnya. Artinya, kelambu yang selama ini menjadi senjata utama melawan malaria, mungkin tidak begitu efektif.
"Invasi dan penyebaran Anopheles stephensi berpotensi mengubah lanskap malaria di Afrika dan membalikkan kemajuan yang telah kita buat selama puluhan tahun dalam pengendalian malaria," kata Meera Venkatesan, kepala divisi malaria USAID.
Diperlukan lebih banyak penelitian
Kekhawatirannya adalah bahwa stephensi akan menyerang kota-kota padat seperti Mombasa di pantai Samudra Hindia Kenya dan ibu kota Sudan, Khartoum, dengan satu studi 2020 memperingatkan bahwa penyakit itu pada akhirnya dapat mencapai 126 juta penduduk kota di seluruh Afrika.
Baru bulan lalu, Mesir dinyatakan bebas malaria oleh WHO setelah berjuang melawan penyakit itu selama seabad, status yang dapat terancam oleh kedatangan stephensi.
Namun, masih banyak yang belum diketahui.
Stephensi dipastikan ada di Kenya pada akhir 2022, tetapi sejauh ini hanya berada di daerah yang lebih panas dan kering tanpa mencapai ibu kota dataran tinggi, Nairobi.
"Kami belum sepenuhnya memahami biologi dan perilaku nyamuk ini," kata Charles Mbogo, presiden Pan-African Mosquito Control Association.
"Mungkin ini disebabkan oleh iklim dan memerlukan suhu tinggi, tetapi diperlukan lebih banyak penelitian,” lanjutnya.
Mbogo menyerukan peningkatan pendanaan untuk menangkap dan menguji nyamuk, dan untuk mendidik masyarakat tentang langkah-langkah pencegahan seperti menutup tempat penampungan air.
Ancaman yang berlipat ganda
Penyebaran stephensi dapat terjadi bersamaan dengan tren mengkhawatirkan lainnya, termasuk peningkatan bukti malaria yang resistan terhadap obat yang tercatat di Uganda, Rwanda, Tanzania, dan Eritrea.
"Kedatangan resistensi sudah dekat," kata Dorothy Achu, kepala WHO untuk penyakit tropis dan yang ditularkan melalui vektor di Afrika.
WHO bekerja sama dengan negara-negara untuk mendiversifikasi program pengobatan guna menunda resistensi. Varian malaria baru juga menghindari tes yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit tersebut.
"Peningkatan penularan yang disebabkan oleh stephensi berpotensi membantu mempercepat penyebaran ancaman lain, seperti resistensi obat atau mutasi lain pada parasit yang membuatnya kurang terdeteksi oleh diagnostik yang paling banyak digunakan," kata Venkatesan di USAID.
Tantangan tambahan lainnya adalah kurangnya koordinasi antara pemerintah Afrika.
Achu mengatakan WHO sedang mengupayakan "pendekatan yang lebih kontinental." Namun, Mbogo di Kenya mengatakan kemauan politik yang lebih besar diperlukan.
"Kami berbagi informasi sebagai ilmuwan dengan rekan-rekan di negara-negara tetangga," katanya.
"Namun, kami perlu mencapai tingkat yang lebih tinggi. Kami membutuhkan kolaborasi lintas batas, berbagi data,” pungkas Achu.
Baca juga:
Mesir Jadi Negara Bebas Malaria, Ini Strategi yang Dipakai