Kaleidoskop Daerah 2025: Sengketa Perebutan 4 Pulau Aceh dan Sumut Berakhir

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi bersama Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Mendagri Tito Karnavian, dan Gubernur Sumut Bobby Nasution. Foto: Metrotvnews.com/Kautsar.

Kaleidoskop Daerah 2025: Sengketa Perebutan 4 Pulau Aceh dan Sumut Berakhir

Whisnu Mardiansyah • 20 December 2025 07:00

Jakarta: Dalam catatan sejarah administrasi pemerintahan daerah di Indonesia, tahun 2025 menjadi tahun penutup salah satu sengketa wilayah yang cukup menyita perhatian publik.

Polemik perebutan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara (Sumut) akhirnya menemui titik final setelah Pemerintah Pusat mengambil keputusan tegas. Penyelesaian ini bukan sekadar urusan garis batas di atas peta, melainkan sebuah ujian nyata bagi tata kelola pemerintahan daerah dan konsistensi negara dalam menegakkan kepastian hukum.

Keempat pulau yang menjadi sengketa itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Letaknya strategis di perairan Barat Sumatra, tepat di antara wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Meskipun secara fisik berukuran kecil dan tidak memiliki penghuni tetap, status keempat pulau tersebut memiliki arti sangat penting, baik dari sisi administratif maupun sebagai simbol kedaulatan daerah.
 


Awal Sengketa 

Akar masalah sengketa ini bermula ketika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan sebuah keputusan yang mengatur pembaruan data wilayah. Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang kode dan data wilayah administrasi pemerintahan, yang ditetapkan pada Jumat, 25 April 2025, mencantumkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatra Utara.

Keputusan ini kemudian memicu reaksi keras dari Pemerintah Aceh. Bagi pihak Aceh, pencantuman itu dianggap sebagai sebuah langkah yang berpotensi menggeser status wilayah yang secara historis dan yuridis selama ini diyakini berada di bawah yurisdiksi mereka. Pemerintah Aceh pun segera membuka kembali arsip-arsip lama sebagai dasar klaim.

Dua dokumen kunci yang dijadikan pijakan adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh, serta nota kesepakatan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara yang telah difasilitasi oleh Kemendagri sendiri pada tahun 1992.

Sementara Aceh bersandar pada dokumen historis dan hukum lama, Pemerintah Provinsi Sumatra Utara memiliki dasar klaim yang berbeda. Sumut menyatakan bahwa penetapan empat pulau sebagai wilayahnya telah melalui proses verifikasi teknis oleh sebuah tim nasional yang melibatkan berbagai lembaga negara berkompeten.


Lembaga-lembaga tersebut antara lain Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Laut, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Data hasil verifikasi tim inilah yang kemudian menjadi dasar pencatatan pulau-pulau kecil dalam laporan resmi Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, pendekatan Sumatra Utara lebih mengedepankan data administratif dan teknis terkini yang digunakan untuk kepentingan pencatatan internasional.

Keputusan Kemendagri yang dianggap sepihak itu memicu gelombang protes dan rasa tidak puas di masyarakat Aceh. Meskipun tekanan publik tinggi, Pemerintah Aceh memilih untuk menempuh jalur dialog dan musyawarah dengan pemerintah pusat, ketimbang membawa sengketa ini ke meja pengadilan (Pengadilan Tata Usaha Negara). Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen untuk menjaga stabilitas politik dan harmoni hubungan antardaerah.

Sorotan terhadap kasus ini semakin meluas hingga ke tingkat nasional. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turun tangan dan meminta pemerintah pusat untuk membuka dasar pertimbangan penetapan wilayah secara transparan. Tujuannya jelas, agar tidak tercipta preseden buruk dalam tata kelola batas wilayah di masa depan. Dinamika yang berkembang pesat ini mendesak Kemendagri untuk mengambil langkah evaluasi.


Gubernur Aceh Muzakir Manaf/Metro TV/Kautsar

Penyelesaian Sengketa oleh Pemerintah Pusat

Menanggapi situasi yang semakin kompleks, Kemendagri melakukan evaluasi mendalam dan komprehensif. Serangkaian pertemuan intensif digelar dengan melibatkan perwakilan dari kedua pemerintah daerah yang bersengketa, yaitu Aceh dan Sumatra Utara. Dalam proses kajian ulang inilah, tim Kemendagri menemukan apa yang dalam hukum disebut sebagai "novum" atau bukti baru.

Bukti baru yang dimaksud adalah dokumen-dokumen pendukung klaim Aceh, terutama nota kesepakatan batas tahun 1992, yang ternyata tidak menjadi bahan pertimbangan utama dalam proses verifikasi sebelumnya.

Temuan ini menjadi titik balik yang signifikan. Hasil kajian ulang beserta rekomendasi kemudian disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia sebagai pihak yang memiliki kewenangan tertinggi dalam menyelesaikan sengketa wilayah antarprovinsi.
 


Setelah melalui proses pertimbangan yang matang, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengambil keputusan final. Pemerintah Pusat secara resmi menetapkan bahwa keempat pulau sengketa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek masuk dalam wilayah administratif Provinsi Aceh. Keputusan bersejarah ini diumumkan kepada publik pada Selasa, 17 Juni 2025.

“Berdasarkan laporan dari Kementerian Dalam Negeri dan data pendukung yang dimiliki pemerintah, Presiden telah memutuskan bahwa keempat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek secara administratif masuk ke wilayah Aceh,” ujar Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, Selasa, 17 Juni 2025.

Ia menegaskan, keputusan ini diambil dengan tujuan utama memberikan kepastian hukum yang definitif dan mengakhiri polemik berkepanjangan yang berpotensi mengganggu stabilitas.

Respons Kedua Pemimpin Daerah Bersengketa

Respons dari kedua pihak provinsi setelah keputusan diumumkan mencerminkan kedewasaan berpolitik dan komitmen terhadap persatuan nasional. Pemerintah Aceh menyambut keputusan tersebut dengan rasa syukur dan apresiasi yang tinggi. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyatakan keputusan ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap sejarah dan hak-hak administratif Aceh.

“Hari ini mungkin menjadi sejarah meskipun kecil. Keputusan Presiden dan Menteri Dalam Negeri telah mengembalikan pulau tersebut pada Aceh. Mudah-mudahan tidak ada yang dirugikan, baik Aceh maupun Sumatera Utara, karena yang penting pulau tersebut adalah bagian dari NKRI dan kita jaga bersama,” kata Muzakir Manaf, Selasa, 17 Juni 2025.

Pernyataan Gubernur Aceh ini menekankan semangat untuk menutup sengketa dengan prinsip persatuan dan kebersamaan, bukan sebagai sebuah kemenangan sepihak yang berpotensi memicu friksi baru.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Sumatra Utara di bawah pimpinan Gubernur Bobby Nasution juga menunjukkan sikap yang sangat sportif dan patuh terhadap hukum. Dengan lapang dada, Sumut menerima keputusan final pemerintah pusat.

“Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden Republik Indonesia yang telah memberikan waktu dan ruang kepada kami serta Pemerintah Aceh. Empat pulau ini secara historis dan berdasarkan dokumen memang masuk wilayah Aceh. Saya meminta masyarakat Sumatera Utara tidak terhasut isu liar, karena ini bagian dari persatuan NKRI,” ujar Bobby Nasution, Selasa, 17 Juni 2025.

Pernyataan Gubernur Sumut ini secara efektif menutup ruang bagi munculnya konflik horizontal di tingkat masyarakat dan menegaskan kembali prinsip kedaulatan hukum di mana keputusan pemerintah pusat adalah final dan harus dihormati.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Whisnu M)