Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Petani Sarang Walet Nusantara (PPSWN), Benny Suryo Sabath Hutapea, sedang menyortir sarang burung walet. Dokumentasi/ istimewa
Jakarta: Petani sarang burung walet berharap pemerintah menjadi fasilitator untuk meningkatkan ekspor ke pasar internasional. Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Petani Sarang Walet Nusantara (PPSWN), Benny Suryo Sabath Hutapea, mengatakan saat ini terdapat jutaan petani walet dan ratusan ribu rumah walet tersebar di seluruh Indonesia.
Produk mereka diekspor ke berbagai negara seperti Tiongkok, Hong Kong, Singapura, Amerika Serikat, Australia, hingga Jepang dan Korea.
"Indonesia adalah penghasil terbesar sarang burung walet di dunia. Bahkan pada 4 Mei 2021, Presiden Jokowi sempat membahasnya dalam rapat terbatas," kata Benny dalam keterangan pers, Senin, 25 Agustus 2025.
Menurut Benny, belakangan ini industri walet menghadapi tantangan serius lantaran harga jual sarang walet anjlok hingga Rp2,5 juta per kilogram.
Benny mengatakan perusahaan pengolahan sarang walet juga terkena sanksi dari General Administration of Customs China (GACC) yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja puluhan ribu karyawan.
"Para petani budi daya mengikuti arahan Bapak Presiden Prabowo untuk dapat melakukan hilirisasi bahan baku siap saji. Untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor," ujar Benny.
Benny mengaku regulasi dari Pemerintah Tiongkok telah menghambat ekspor dan memperparah kondisi petani. Kebijakan tersebut antara lain menetapkan parameter baru terkait kandungan aluminium <100mg/kg sarang walet yang sebelumnya tidak pernah tercantum dalam MoU protokol impor antara Indonesia-Tiongkok.
Perubahan standar produk walet
Situasi perubahan mendadak dalam standar produk walet dari GACC itu tentu menyulitkan bagi petani sarang walet di Indonesia. Sebab Indonesia adalah penghasil sarang burung walet terbesar di dunia, dengan produksi 1.900 ton per tahun (per 2023) dan angka ini terus meningkat setiap tahunnya.
Akibat perubahan standar dari GACC itu telah terjadi penurunan ekspor sarang walet dari Indonesia ke Tiongkok sekitar 250 ton/tahun atau setara Rp5 triliun setara USD309 juta. Padahal pasar utama dan terbesar ekspor walet Indonesia adalah Tiongkok yakni 78 persen dari total ekspor.
Penurunan ekspor itu berdampak pada timbulnya ancaman PHK bagi ratusan ribu tenaga kerja pabrik, UMKM, dan rantai pasok.
"Satu juta lebih petani walet di seluruh Indonesia kesulitan menyalurkan hasil panen karena menurunnya serapan pasar, sehingga pendapatan masyarakat di daerah terpukul keras," ungkap Benny.
Benny menyebut jika kondisi ini berlanjut, Indonesia hanya akan berperan sebagai pengekspor bahan mentah yang belum diolah ke Tiongkok.
Akibatnya produk sarang burung walet dunia berisiko didominasi label Made in China sehingga nilai tambah, lapangan kerja, serta citra produk yang seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia berpindah ke negara lain. Karena itu Benny mendesak pemerintah Indonesia hadir sebagai fasilitator.
"Kami berharap hadirnya pemerintah sebagai fasilitator, yang juga mampu menjadi bapak asuh sebagai pendorong kemajuan para petani walet. Sehingga dapat menjadi problem solver stabilisasi harga dan sanksi ekspor," beber Benny.
PPSWN pun menyampaikan harapan agar industri walet bisa kembali bangkit, terutama dari sisi ekspor. "Kalau produksi industri sarang burung walet berjalan dengan baik, mulai dari pembibitan hingga pemasaran, maka akan banyak menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan negara dari ekspor," ujar Benny.