KH Ahmad Hanafiah. Dok
Medcom • 7 November 2023 21:47
Bandar Lampung: Tokoh pahlawan nasional dari Lampung bertambah. KH Ahmad Hanafiah digadang-gadang akan menerima gelar penganugerahan di Istana Negara pada 10 November 2023. KH Ahmad Hanafiah menjadi tokoh pahlawan nasional kedua asal Lampung, setelah Raden Inten II.
Lalu siapakah KH Ahmad Hanafiah? Mengapa diberi gelar oleh Pemprov Lampung sebagai tokoh nasional? Seberapa besar peran KH Ahmad Hanafiah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia?
Dalam buku Biografi Perjuangan KH Ahmad Hanafiah Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Lampung 1945--1947 yang ditulis Prof. Wan Jamaluddin dan penulis lainnya yang terbit 2022 dapat menjawab pertanyaan di atas.
Dalam buku itu disebutkan Ahmad Hanafiah dikenal sebagai tokoh agama, pemimpin pergerakan, dan perlawanan fisik umat Islam di Lampung. Namun, sosok tersebut diyakini memiliki kemampuan unik, yaitu ilmu kebal dalam melawan penjajah Belanda.
Sosok kelahiran Kecamatan Sukadana, Lampung Timur, pada 1905 itu putra sulung KH. Muhammad Nur, pimpinan Pondok Pesantren Istishodiyah di Sukadana. Pesantren tersebut menjadi pondok pesantren pertama di Lampung.
"Beliau ini keturunan penyiar Islam Ki Masputra yang diutus Sultan Banten Maulana Yusuf (1570-1580) ke Sukadana. Kakeknya KH. Abdul Halim pernah belajar di Mekkah abad ke-19, dan Ayahnya KH Muh Nur pernah belajar di Mekkah selama 10 tahun sejak masa kecilnya," tulis buku tersebut.
Buku itu menyebut, KH Ahmad Hanafiah sebagai ulama dan pejuang dari Sukadana yang berjasa mempertahankan kemerdekaan di Lampung (Sumatera bagian Selatan) pada 1945-1947.
"Pilihan untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkraman kolonialisme Belanda tak lepas dari latar sosiohistoris Hanafiah," kutip buku biografi tersebut.
Setelah belajar di Batavia (Jakarta), Malaysia dan Mekkah, ia menghasilkan dua karya penting yaitu Sirr al-Dahr (1934-1936) dan Al-Hujjah (1937). Karya pertamanya Sir al-Dahr menitikberatkan mengenai tafsir surat al-Ashr yang dihubungkan dengan kata Al-Dahr.
Lalu karya kedua membahas tentang aspek-aspek fiqih, seperti salat sunnah qalbiyyah sebelum khutbah Jumat, mengangkat tangan saat qunut, menyentuh mushaf bagi yang berhadas, dan hukum tabu-tabuhan dan peralatan musik yang terjadi di masyarakat Lampung. Selain menulis dua kitab itu, Hanafiah pun aktif dalam pergerakan nasional. Ia tercatat sebagai Ketua Sarekat Islam (SI) di Kewedanan Sukadana (1937-1942).
Organisasi itu sebagai spektrum pergerakan nasional masa Hindia Belanda (1900-1942) menjadi wadah perjuangan umat Islam lintas daerah dan suku bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Untuk itu, SI dianggap organisasi berbahaya dan setiap pergerakannya di berbagai daerah mendapat pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda.
Organisasi lain dengan posisi sebagai pimpinan adalah Nahdatul Ulama (NU) dan Masyumi pada 1937-1942. Pada masa pendudukan militer Jepang, Hanafiah aktif sebagai anggota Sangikai Keresidenan Lampung (1943-1945).
Pada awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketika dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Keresidenan Lampung, Hanafiah berkiprah sebagai Ketua KNID di Kewedanan Sukadana. Pada era itu, ia tercatat sebagai ketua Masyumi dan pimpinan Hisbullah Sukadana. Peran dan posisi tersebut memperkokoh semangat kebangsaan (nasionalisme) Hanafiah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Lampung.
Terlebih, sejak Oktober 1945, Masyumi pusat menegaskan membela Tanah Air dari cengkeraman kekuasaan kolonial (Belanda) sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam dan tindakan tersebut sebagai jihad.
Akhir Hidup KH Ahmad Hanafiah
Berlandaskan upaya menegakkan kemerdekaan dan semangat keagamaan (jihad), Hanafiah mengerahkan segenap jiwa dan raga memimpin laskar-laskar dari Lampung merebut Baturaja dari pendudukan pasukan Belanda pada Juli dan Agustus 1947, ketika Agresi Militer Belanda Pertama.
Pada serangan kedua (16-17 Agustus 1947), Ahmad Hanafiah dan ratusan laskar Lampung dikepung tentara Belanda. Setelah melakukan perlawanan sengit, Hanafiah ditangkap dan dieksekusi mati oleh Belanda di Baturaja dengan cara ditenggelamkan ke dalam Sungai Ogan. Sehingga jasadnya tidak dapat ditemukan para pejuang dan masyarakat setempat.
Untuk itu, tidak ada makam untuk sang ulama dan pejuang yang sangat heroik tersebut. KH Ahmad Hanafiah mengakhiri hayatnya di jalah Allah demi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (Lampost)