Presiden Prabowo Subianto. Medcom.id/Kautsar Widya Prabowo
Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya kebijakan efisiensi anggaran. Prabowo sebelumnya meminta kementerian untuk mengurangi perjalanan ke luar negeri dan fokus mengurusi persoalan masyarakat. Instruksi itu termasuk membatasi kegiatan seminar maupun studi banding di luar negeri.
Pakar Kebijakan Publik, Riant Nugroho mengatakan, kebijakan efisiensi anggaran yang diperintahkan oleh Presiden Prabowo sudah tepat, mengingat situasi kabinet sangat gemuk dan kondisi keuangan Pemerintah Indonesia dalam keadaan tidak mudah sebagaimana rerata perekonomian pemerintahan dunia pada saat ini.
“Perencanaan terkait perjalanan dinas sudah tepat, mengingat hal tersebut sesuai dengan prinsip manajemen profesional,” jelasnya kepada Media Indonesia pada Senin, 4 November 2024.
Riant menjelaskan, tugas manajemen harus fokus kepada hal-hal yang bersifat urgent-important atau prioritas. “Pertama (Presiden) harus memperhatikan urusan yang penting atau harus dilakukan ‘do’ dan kemudian urusan yang urgent not important atau manage sebagai prioritas kedua, berlanjut pada urusan Not-Urgent dan Important, yang disebut dengan delegate,” ujarnya.
Riant juga menegaskan, pemerintah juga harus bisa meniadakan hal-hal yang tidak penting dan tidak urgensi. Dalam teorinya, disebut Not-Important yang Not Urgent atau disebut ABANDON, atau tidak perlu dilakukan.
“Di antaranya adalah kegiatan-kegiatan seremonial yang tidak perlu, blusukan yang sekedar pencitraan, hingga kunjungan atau perjalanan yang dibiayai dinas atau kantor yang tidak relevan dengan pekerjaan utama. Jadi, arahan Presiden Prabowo sudah sesuai dengan prinsip manajemen profesional,” tutur Riant.
Riant mengatakan penyebab terjadinya kebocoran anggaran yang menyebabkan inefisien yaitu adanya sistem pertanggungjawaban keuangan di pemerintah yang mewajibkan agar tidak boleh ada sisa anggaran, meski seluruh pekerjaan sudah selesai. Salah satunya adalah dengan perjalanan atau kunjungan dinas.
“Sehingga perlu penataan ulang pada sistem pertanggungjawaban keuangan yang ada, di mana jika seluruh pekerjaan selesai, dan masih ada anggaran, maka dapat dikembalikan,” imbuhnya.
Kendati demikian, Riant menilai kegiatan perjalanan dinas, kunjungan lapangan, studi banding, dan sejenisnya tetap diperlukan namun dengan mempertimbangkan arti penting kegiatan tersebut, baik dari pertimbangan, teknis, strategis, hingga politis.
“Dan harus tetap mempertimbangkan unsur efisiensi, dengan membatasi jumlah peserta yang mendampingi, dengan cara pejabat terkait menyiapkan perjalanan dengan baik, sehingga tetap merasa nyaman meski dengan jumlah delegasi yang terbatas,” jelasnya.
Riant juga mengamati bahwa perjalanan dinas yang memboroskan anggaran juga terjadi karena adanya beberapa pimpinan lembaga yang relatif kurang nyaman dalam tugas ke luar kota atau luar negeri secara relatif mandiri, sehingga perlu mengajak cukup banyak bawahan untuk membuatnya lebih nyaman.
“Pada perjalanan dinas beberapa pejabat negara, ada yang terlihat yang bersangkutan didampingi sekjen, dirjen, direktur, dan jajaran lain, sehingga jumlah peserta menjadi banyak, dan berpotensi inefisiensi anggaran,” katanya.
Atas dasar itu, Riant mendorong agar pemerintahan Prabowo dapat memperkuat mekanisme monitoring dan evaluasi secara hibrida, sehingga sebagian pekerjaan dapat dilakukan secara daring. Hal ini, lanjut Riant, harus didukung oleh sistem dan ekosistem pelaporan monitoring dan evaluasi yang baik dan bertanggung jawab.
“Para birokrat profesional sebenarnya bila dapat, mereka memilih untuk tidak melakukan perjalanan dinas yang tidak diperlukan, karena sistem penggantian yang telah berganti dari lumpsum ke at-cost. Namun, keharusan monitoring-evaluasi secara lapangan dan kewajiban menuntaskan seluruh anggaran, solusi tersebut kemudian terpaksa dilakukan,” jelasnya.