"Terus terang kami kaget. Sepanjang empat periode saya di DPRD Provinsi Sulsel, tidak pernah ada kerja sama dengan pihak swasta yang tidak melibatkan DPRD," kata Ketua Komisi D DPRD Sulsel Kadir Halid, Kamis, 18 Desember 2025.
Politisi Partai Golkar itu menegaskan, kerja sama pemanfaatan aset daerah, dalam bentuk sewa apalagi pelepasan, semestinya melibatkan DPRD sebagai bagian dari prinsip akuntabilitas dan transparansi.
"Contohnya kerja sama Hotel Rinra atau kebun binatang di Benteng Somba Opu, semuanya melibatkan DPRD. Jadi kasus ini kami nilai janggal," ujarnya.
Pengamat kebijakan publik sekaligus Direktur The Sawerigading Institute (TSI), Asri Tadda mengatakan jika dihitung untuk jangka waktu kontrak selama setengah abad, nilai sewa secara minimal seharusnya mencapai Rp45 miliar.
Menggunakan nilai pembayaran awal (Rp4,5 miliar) untuk menghindari kewajiban melibatkan DPRD dinilai keliru. Ia menekankan bahwa dalam hukum perjanjian, yang dinilai adalah nilai kontrak total, bukan cicilan per termin.
"Yang disampaikan Pemkab dalam RDP itu keliru secara logika kebijakan. Rp4,5 miliar bukan nilai kontrak keseluruhan, melainkan hanya pembayaran lima tahun pertama dari total masa sewa 50 tahun," ujar Asri Tadda.
Asri menegaskan bahwa DPRD bukan penghambat investasi, melainkan mitra pengawas yang melindungi pemerintah daerah dari risiko hukum dan politik. "Menghindari DPRD mungkin terasa praktis hari ini. Tapi dalam hukum dan politik, jalan pintas hampir selalu berubah menjadi jalan buntu," kata Asri Tadda.
Direktur Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulsel, Andi Fadli Ahmad menilai kerja sama ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"UU itu jelas mengatur bahwa pemerintah daerah wajib memperoleh persetujuan DPRD jika melakukan kerja sama dengan pihak swasta dalam pemanfaatan aset strategis yang berdampak luas bagi masyarakat," ujar Andi Fadli Ahmad.
Fadli menegaskan bahwa lahan seluas 394,5 hektare yang disewakan untuk dijadikan kawasan industri jelas merupakan aset strategis. Dampaknya terhadap tata ruang, lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat sangat besar dan jangka panjang. Ketidakhadiran DPRD dalam proses ini dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap prinsip akuntabilitas.
"Alasan nilai di bawah Rp5 miliar mungkin sah secara administratif, tetapi justru membuka potensi kebocoran anggaran dan korupsi. Apalagi ini aset besar dengan dampak jangka panjang," tegasnya.