Transparansi Jadi Tantangan Utama Penerapan Kebijakan Telur Bebas Sangkar

Aksi perlindungan kesejahteraan hewan oleh Act for Farmed Animals. Istimewa

Transparansi Jadi Tantangan Utama Penerapan Kebijakan Telur Bebas Sangkar

Whisnu Mardiansyah • 26 December 2025 15:52

Jakarta: Sektor pangan di Asia menghadapi ujian penting jelang berakhirnya tenggat waktu komitmen bebas sangkar (cage-free) pada 2025. Laporan terbaru menunjukkan mayoritas perusahaan masih berjalan dalam tahap awal transisi, dengan hanya segelintir yang benar-benar siap memenuhi penerapan telur bebas sangkar. Kelambatan ini mengancam kesejahteraan ratusan jutaan ayam petelur dan menguji ketahanan serta reputasi rantai pasok pangan global.

"Kami melihat adanya pergerakan, tetapi tidak secepat yang dibutuhkan," kata Corporate Accountability Lead Asia dan penulis laporan *Asia Cage-Free Tracker 2025* dari Sinergia Animal Nurkhayati Darunifah, Jumat, 26 Desember 2025.

Laporan yang mengevaluasi 95 perusahaan di lima negara kunci India, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Thailand mengungkap gambaran yang beragam. Meski 70,5 persen perusahaan telah mengungkapkan kemajuan tertentu, angka ini hanya naik tipis 0,7 persen dari tahun sebelumnya.

Dari jumlah tersebut, hanya 14,7 persen (14 perusahaan) yang telah sepenuhnya bebas sangkar atau dipastikan akan memenuhi target akhir 2025. Sebanyak 29,5 persen perusahaan lainnya masih sama sekali tidak memberikan laporan publik, menunjukkan kesenjangan transparansi yang lebar.

Peran kelima negara ini sangat sentral dalam ekonomi telur global. Thailand dan India adalah pemasok utama produk telur olahan untuk ekspor, sementara Indonesia dan Malaysia menjaga stabilitas pasokan regional. Jepang, dengan konsumsi telur per kapita tertinggi di dunia, sangat bergantung pada bahan baku impor. Kelambatan transisi di wilayah ini berpotensi mengganggu rantai pasok global.

Di balik angka-angka tersebut, sistem kandang baterai yang kontroversial masih mendominasi industri. Dalam sistem ini, ayam menghabiskan hidupnya di ruang lebih kecil dari selembar kertas A4, tidak dapat mengekspresikan perilaku alami seperti bertengger atau mandi debu. Meski sudah dilarang bertahap di Uni Eropa dan beberapa negara lain, sistem ini masih luas digunakan di Asia.

Tantangannya kompleks. Sebanyak 33 perusahaan hanya melaporkan kemajuan di tingkat global tanpa rincian spesifik untuk operasi Asia, menyulitkan penilaian nyata. Sementara itu, 28 perusahaan lainnya benar-benar  tanpa transparansi publik.

"Tahun depan sangat penting. Perusahaan yang menunda pembaruan berisiko tertinggal karena ekspektasi konsumen terhadap transparansi dan sumber pangan yang bertanggung jawab terus meningkat," tegas Nurkhayati.

Laporan ini mengklasifikasi perusahaan ke dalam sembilan tingkatan. Perusahaan yang telah menyelesaikan transisi di seluruh operasi Asia antara lain Aman Resorts, Capella Hotel Group, Illy Caffè, Lotus Bakeries, Shake Shack, Starbucks, Pizza Marzano, dan The Cheesecake Factory. Sementara itu, perusahaan yang dipastikan akan tuntas pada akhir 2025 mencakup Bali Buda, Group Holder, Group Savencia, IKEA, Pizza Express, dan ViaVia Restaurant.

Analisis per negara menunjukkan ketimpangan Indonesia memiliki jumlah partisipan terbanyak (57 perusahaan), tetapi implementasi belum merata. India menunjukkan tingkat pelaporan kuat (78,6 persen), namun tindak lanjut di lapangan sangat bervariasi.

Jepang mencapai transparansi terendah (70,9%) di antara semua pasar yang dievaluasi. Thailand keterlibatan baik, tetapi implementasi tahap lanjut masih terbatas. Dan Malaysia:, partisipasi berkembang, namun pengungkapan data spesifik untuk negara ini masih minim.

"Seiring mendekatnya tenggat waktu tahun 2025, perusahaan-perusahaan di seluruh Asia menghadapi momen penentuan," ujar Managing Director Sinergia Animal Thailand, Saneekan Rosamontri.

Koalisi Act for Farmed Animals gabungan Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal International menegaskan akan terus memantau perkembangan dan mendorong kolaborasi dengan bisnis di Asia. Tujuannya adalah memastikan standar yang diterapkan memenuhi tuntutan global akan sistem pangan yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.

Dengan waktu yang semakin sempit, tekanan dari konsumen, investor, dan LSM diperkirakan akan semakin intens. Kemampuan perusahaan untuk tidak hanya berkomitmen, tetapi juga membuktikan kemajuan transparan, akan menjadi penentu reputasi dan keberlanjutan bisnis mereka di masa depan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Whisnu M)