WHO Umumkan Wabah Cacar Monyet di Kongo Sebagai Keadaan Darurat Global

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus umumkan darurat global cacar monyet di Kongo. (EFE)

WHO Umumkan Wabah Cacar Monyet di Kongo Sebagai Keadaan Darurat Global

Marcheilla Ariesta • 15 August 2024 08:17

Jenewa: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan wabah cacar monyet (monkeypox) atau yang dikenal mpox di Kongo dan tempat lain di Afrika sebagai keadaan darurat global pada Rabu, 14 Agustus 2024. Kasus yang dikonfirmasi di antara anak-anak dan orang dewasa di lebih dari selusin negara dan bentuk baru virus tersebut menyebar. 

Hanya sedikit dosis vaksin yang tersedia di benua itu.

Awal minggu ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika mengumumkan bahwa wabah mpox merupakan keadaan darurat kesehatan masyarakat, dengan lebih dari 500 kematian, dan menyerukan bantuan internasional untuk menghentikan penyebaran virus tersebut.

"Ini adalah sesuatu yang seharusnya menjadi perhatian kita semua. Potensi penyebaran lebih lanjut di Afrika dan sekitarnya sangat mengkhawatirkan," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dilansir dari AFP, Kamis, 15 Agustus 2024.

CDC Afrika sebelumnya mengatakan, mpox yang juga dikenal sebagai cacar monyet, telah terdeteksi di 13 negara tahun ini, dan lebih dari 96 persen dari semua kasus dan kematian terjadi di Kongo. 

Kasus meningkat 160 persen dan kematian meningkat 19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sejauh ini, telah terjadi lebih dari 14.000 kasus dan 524 orang telah meninggal.

“Kita sekarang berada dalam situasi di mana (mpox) menimbulkan risiko bagi lebih banyak tetangga di dan sekitar Afrika Tengah,” kata Salim Abdool Karim, pakar penyakit menular Afrika Selatan yang mengepalai kelompok darurat CDC Afrika. 

Ia mengatakan versi baru mpox yang menyebar dari Kongo tampaknya memiliki tingkat kematian sekitar 3-4 persen.

Pada 2022, WHO menyatakan mpox sebagai keadaan darurat global setelah menyebar ke lebih dari 70 negara yang sebelumnya tidak melaporkan mpox, sebagian besar memengaruhi pria gay dan biseksual. Dalam wabah itu, kurang dari 1 persen orang meninggal.

Michael Marks, seorang profesor kedokteran di London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan, wabah mpox terbaru di Afrika ini sebagai keadaan darurat diperlukan jika itu dapat menghasilkan lebih banyak dukungan untuk mengatasinya.

“Ini adalah kegagalan komunitas global yang membuat keadaan menjadi seburuk ini untuk melepaskan sumber daya yang dibutuhkan,” katanya.

Pejabat di CDC Afrika mengatakan hampir 70 persen kasus di Kongo terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, yang juga menyebabkan 85 persen kematian.

Jacques Alonda, seorang ahli epidemiologi yang bekerja di Kongo dengan lembaga amal internasional, mengatakan, ia dan para ahli lainnya sangat khawatir tentang penyebaran mpox di kamp-kamp pengungsi di wilayah timur negara itu yang dilanda konflik.

"Kasus terburuk yang pernah saya lihat adalah kasus bayi berusia enam minggu, yang tertular mpox ketika dia baru berusia dua minggu," kata Alonda, seraya menambahkan bahwa bayi tersebut telah dirawat selama sebulan.

“Ia terinfeksi karena rumah sakit yang penuh sesak membuat ia dan ibunya terpaksa berbagi kamar dengan orang lain yang terjangkit virus tersebut, yang tidak terdiagnosis,” lanjut Alonda.

Save the Children mengatakan, sistem kesehatan Kongo telah "runtuh" ??karena tekanan kekurangan gizi, campak, dan kolera.

Badan kesehatan PBB mengatakan mpox baru-baru ini diidentifikasi untuk pertama kalinya di empat negara Afrika Timur: Burundi, Kenya, Rwanda, dan Uganda. Semua wabah tersebut terkait dengan wabah di Kongo. Di Pantai Gading dan Afrika Selatan, otoritas kesehatan telah melaporkan wabah versi mpox yang berbeda dan kurang berbahaya yang menyebar ke seluruh dunia pada 2022.

Awal tahun ini, para ilmuwan melaporkan munculnya bentuk baru dari mpox yang lebih mematikan, yang dapat membunuh hingga 10 persen orang, di kota pertambangan Kongo yang mereka khawatirkan dapat menyebar lebih mudah. ??Mpox sebagian besar menyebar melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi, termasuk melalui hubungan seks.

Tidak seperti wabah mpox sebelumnya, di mana lesi sebagian besar terlihat di dada, tangan, dan kaki, bentuk baru ini menyebabkan gejala dan lesi yang lebih ringan pada alat kelamin. Itu membuatnya lebih sulit dikenali, yang berarti orang mungkin juga menularkan penyakit kepada orang lain tanpa mengetahui bahwa mereka terinfeksi.

Sebelum wabah 2022, penyakit ini sebagian besar terlihat dalam wabah sporadis di Afrika Tengah dan Barat ketika orang melakukan kontak dekat dengan hewan liar yang terinfeksi. Negara-negara Barat selama wabah 2022 sebagian besar menghentikan penyebaran mpox dengan bantuan vaksin dan perawatan, tetapi sangat sedikit dari vaksin dan perawatan tersebut yang tersedia di Afrika.

Marks dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan bahwa karena tidak adanya vaksin mpox yang berlisensi di Barat, para pejabat dapat mempertimbangkan untuk memvaksinasi orang-orang terhadap cacar, penyakit terkait.

“Kita membutuhkan pasokan vaksin yang besar sehingga kita dapat memvaksinasi populasi yang paling berisiko," katanya.

Ia menambahkan bahwa itu berarti pekerja seks, anak-anak, dan orang dewasa yang tinggal di wilayah wabah.

Kongo belum menerima vaksin

Pihak berwenang Kongo mengatakan, mereka telah meminta 4 juta dosis. Cris Kacita Osako, koordinator Komite Tanggap Cacar Monyet Kongo mengatakan bahwa sebagian besar dosis tersebut akan digunakan untuk anak-anak di bawah usia 18 tahun.

"Amerika Serikat dan Jepang adalah dua negara yang memposisikan diri untuk memberikan vaksin kepada negara kita," kata Kacita Osako.

Dr. Dimie Ogoina, seorang ahli mpox asal Nigeria yang mengepalai komite darurat WHO, mengatakan masih ada kesenjangan yang signifikan dalam memahami bagaimana mpox menyebar di Afrika. Ia menyerukan pengawasan yang lebih ketat untuk melacak wabah tersebut.

"Kami bekerja secara membabi buta ketika kami tidak dapat menguji semua kasus yang diduga," kata Ogoina.

Meskipun deklarasi darurat WHO dimaksudkan untuk memacu lembaga donor dan negara-negara untuk bertindak, respons global terhadap deklarasi sebelumnya beragam.

Dr. Boghuma Titanji, seorang ahli penyakit menular di Universitas Emory, mengatakan deklarasi darurat WHO terakhir untuk mpox "tidak banyak membantu" untuk mendapatkan hal-hal seperti tes diagnostik, obat-obatan, dan vaksin ke Afrika.

"Dunia memiliki peluang nyata di sini untuk bertindak dengan cara yang tegas dan tidak mengulangi kesalahan masa lalu, (tetapi) itu akan membutuhkan lebih dari sekadar deklarasi (darurat)," pungkas Titanji.

Baca juga: 416 Warga Jakarta Telah Divaksin Cacar Monyet Dosis Kedua

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Marcheilla A)