Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) meluncurkan skema baru program Adipura yang lebih tegas, substansial, dan berorientasi pada target: Indonesia Bebas Sampah 2029.
5 August 2024 17:38
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) meluncurkan skema baru program Adipura yang lebih tegas, substansial, dan berorientasi pada target: Indonesia Bebas Sampah 2029.
Melalui pendekatan berbasis data, lapangan, dan tata kelola nyata, KLH/BPLH menegaskan tidak ada lagi ruang untuk penilaian seremonial. Semua kota kini dituntut berbenah secara menyeluruh dari hulu, tengah hingga hilir.
“Hari ini saya katakan, seluruh kota di Indonesia nilainya masih kotor. Tidak satu pun yang layak Adipura Kencana,” kata Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq.
Adipura kini memiliki empat tingkatan: Kota Kotor, Sertifikat Adipura, Adipura, dan Adipura Kencana. Dua kriteria langsung menggugurkan kota dari seleksi: masih ada tempat penampungan sementara (TPS) liar, dan tempat pemrosesan akhir (TPA) masih open dumping.
“Begitu ada TPS liar atau TPA-nya masih buang terbuka, langsung kami coret. Tidak ada ampun, karena ini bukan soal estetika, tapi soal masa depan lingkungan kita,” ujar Menteri Hanif.
Adipura akan diberikan hanya kepada kota yang memenuhi seluruh komponen teknis, mulai dari fasilitas dan operasional pengelolaan sampah, penganggaran yang memadai, hingga sumber daya manusia (SDM) yang terlatih.
Sementara Adipura Kencana, tingkatan tertinggi, hanya diberikan kepada kota yang telah mengelola sampah dengan prinsip residu minimum dan TPA berbasis sanitary landfill.
“Saya tidak mau membohongi rakyat. Dalam sains, salah itu wajar, tapi bohong itu haram. Kalau belum layak, ya tidak kami berikan. Ini bentuk integritas KLH/BPLH,” kata Menteri Hanif.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang dinilai tahunan, kini Adipura menggunakan metode penilaian berkala selama tujuh bulan berturut-turut, dimulai sejak Juli hingga Januari. Penilaian dilakukan langsung oleh pejabat struktural KLH/BPLH, termasuk para direktur dan staf eselon I dan II, yang dibagi untuk membina seluruh kabupaten/kota secara aktif.
“Setiap kota kami kawal, bukan sekadar kami nilai lalu kami tinggalkan. Kami pantau, diskusikan, dan bantu cari solusi. Jadi tidak ada yang dibiarkan tenggelam,” kata Menteri Hanif.
KLH/BPLH juga telah membentuk Waste Crisis Center, ruang koordinasi nasional yang digunakan untuk menyusun skenario penanganan sampah spesifik tiap daerah.
Mengingat karakteristik dan tantangan tiap kota berbeda, skenario tidak bisa seragam. KLH/BPLH mengintegrasikan program Adipura dengan sanksi administratif sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Kabupaten/kota yang belum menyusun roadmap penutupan TPA dan pengelolaan sampah akan dikenakan sanksi paksaan pemerintah. Apabila diabaikan, dapat berujung pada pidana lingkungan.
“Kami tak hanya memberi penghargaan, tapi juga sanksi. Tidak bisa lagi berlindung di balik baliho hijau. Kota harus siap berubah,” ujar Menteri Hanif.
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur pengelolaan sampah secara nasional, dibutuhkan investasi sekitar Rp300 triliun, termasuk untuk pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R), Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), dan waste-to-energy. Dana ini akan dikolaborasikan dari berbagai sumber, termasuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan dukungan internasional.
“Negara maju tak membebani anggaran negaranya untuk urusan sampah. Sampah harus jadi uang. Kita akan ke arah sana,” kata Menteri Hanif.
Menteri Hanif menegaskan bahwa pendekatan Adipura Baru bukan sekadar teknokratik, melainkan menyentuh nurani. Warga akan mempertanyakan bila kotanya mendapat predikat 'kota kotor'.
Menteri Hanif juga menyoroti 343 TPA di seluruh Indonesia yang saat ini masih berstatus open dumping. Ia menegaskan bahwa semuanya kini sedang dalam pengawasan ketat dan tahap paksaan pemerintah untuk segera naik kelas menjadi TPA dengan sistem sanitary landfill. Target minimal tahun 2026, setiap daerah sudah harus bisa mengelola setidaknya 50 persen sampahnya dengan baik.
“Kita dorong agar sampah bisa jadi energi, jadi listrik. Bukan dibuang, tapi dimanfaatkan. Hanya residu yang boleh masuk ke TPA. Maka dari itu, TPA bertaraf RDF harus banyak dibangun dan dikembangkan di seluruh kabupaten dan kota. Ini bukan pilihan lagi, ini keharusan,” ujarnya.
Sekretaris Utama KLH/BPLH, Rosa Vivien Ratnawati, menyatakan bahwa sistem Adipura yang baru telah dirancang lebih objektif, transparan, dan berlandaskan indikator yang terukur dan ketat.
Penilaian dilakukan dengan mengacu pada Surat Keputusan Menteri LH/Kepala BPLH Nomor 1.418 Tahun 2025 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Sampah di Setiap Kabupaten/Kota Melalui Adipura, dengan bobot penilaian yang jelas: kebersihan dan pengelolaan sampah 50%, anggaran pengelolaan 20%, serta SDM dan fasilitas 30%. Penilaian fisik dilakukan langsung di lapangan oleh tim gabungan dari pusat dan daerah.
“Untuk bisa meraih Adipura, sebuah kota harus memenuhi seluruh parameter secara sistematis. Tidak boleh ada TPS liar, TPA wajib minimal controlled landfill, dan minimal 25 persen sampahnya harus benar-benar terkelola. Semakin tinggi peringkat, semakin berat pula syaratnya,” kata Rosa.
Rosa menambahkan bahwa Adipura Kencana, sebagai penghargaan tertinggi, hanya akan diberikan kepada kota yang telah mencapai 100% bebas TPS liar, memiliki TPA sanitary landfill dengan fasilitas pengolahan lindi dan gas metan, serta minimal 75% sampahnya telah tertangani melalui sistem sirkular yang mapan dan menuju zero waste.
“Ini bukan hanya soal nilai, ini soal keseriusan. Setiap angka mewakili keputusan strategis yang diambil kepala daerahnya. Tahun ini, penilaian tidak bisa dimanipulasi karena kami menggunakan kombinasi data sekunder, pengamatan lapangan, dan pelacakan kebijakan anggaran daerah,” ujar Rosa Vivien.