Indonesia Rugi Banyak, Kesepakatan Tarif Trump Bisa Lemahkan Kemandirian Ekonomi

Ilustrasi. Foto: komite-umkm.org

Indonesia Rugi Banyak, Kesepakatan Tarif Trump Bisa Lemahkan Kemandirian Ekonomi

M Ilham Ramadhan Avisena • 16 July 2025 10:35

Jakarta: Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dalam kerangka Trump Deal 2025 dinilai tidak setara dan berisiko melemahkan kemandirian ekonomi nasional. Perjanjian itu dinilai membuka celah dominasi produk AS di pasar domestik Indonesia tanpa memberi imbal balik yang adil.

"Kesepakatan IEU-CEPA lebih menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang, karena mendorong perbaikan kualitas produk, akses pasar yang adil, dan membentuk kemitraan yang setara. Sementara kesepakatan Trump 2025 adalah bentuk tekanan dagang yang memaksa Indonesia untuk membuka pasar dan membeli produk AS secara besar-besaran tanpa imbal balik setara," ujar Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi melalui keterangannya, Rabu, 16 Juli 2025.

Menurutnya, dalam perjanjian tersebut, AS mendapatkan akses pasar domestik Indonesia tanpa hambatan tarif, sedangkan ekspor Indonesia ke AS tetap dikenai tarif sebesar 19 persen. Ketimpangan itu memberikan ruang luas bagi produk AS dari sektor pertanian, otomotif, hingga energi untuk membanjiri pasar Indonesia dan menekan pelaku usaha lokal.

"Ketika barang impor menjadi lebih murah karena bebas tarif, maka pelaku usaha lokal akan menghadapi tekanan besar, dan ruang bagi industrialisasi nasional pun semakin menyempit," jelas Syafruddin.

Hal itu menurutnya mengindikasikan posisi tawar Indonesia yang lemah dalam perundingan tersebut. Dia juga menyoroti beban sepihak dalam bentuk komitmen pembelian besar-besaran yang dibebankan kepada Indonesia.

Komitmen senilai USD15 miliar untuk membeli energi dari AS berpotensi menggantikan sumber energi domestik atau alternatif dari negara mitra lain. Syafruddin turut mengkritik impor pertanian senilai USD4,5 miliar dan pembelian 50 pesawat Boeing yang dianggap bisa membebani APBN dan BUMN penerbangan.
 

Baca juga: Prabowo Sukses Rayu Trump, Tarif Impor Indonesia ke AS Cuma 19%


(Ilustrasi. Foto: Medcom.id)
 

Picu defisit perdagangan


Syafruddin menilai struktur kesepakatan seperti itu berisiko memicu defisit neraca perdagangan bilateral. "Indonesia berpotensi mengalami kondisi yang disebut neraca dua lapis, mencatat surplus dalam perdagangan global secara keseluruhan, tetapi justru mengalami defisit dalam hubungan dagang dengan Amerika Serikat," ujar dia.

Ia membandingkan kondisi ini dengan pola relasi timpang era 1980-an ketika banyak negara berkembang membuka pasarnya ke AS atau IMF. Dampak dari kesepakatan itu, lanjut Syafruddin, bisa mencuat dalam hitungan pertumbuhan ekonomi nasional.

Jika ekspor stagnan dan impor melonjak akibat skema tersebut, maka kontribusi sektor eksternal terhadap pertumbuhan bisa menjadi negatif. Hal itu menurutnya berbahaya bagi kestabilan ekonomi makro jangka menengah hingga panjang.

Lebih jauh, Syafruddin menilai sektor-sektor yang belum kompetitif akan tertekan, khususnya UMKM di bidang pertanian dan pangan.

"Banjirnya barang-barang impor berpotensi melemahkan industri dalam negeri, UMKM menjadi kelompok yang paling rentan karena harus bersaing langsung dengan produk asing yang masuk tanpa beban tarif," kata Syafruddin.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)