Sanksi Baru Diperkirakan Mengguncang Ekonomi Rusia

Presiden Rusia Vladimir Putin terima sanksi baru dari Amerika Serikat. Foto: EFE-EPA

Sanksi Baru Diperkirakan Mengguncang Ekonomi Rusia

Fajar Nugraha • 23 October 2025 20:10

Washington: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu, 22 Oktober 2025  mengumumkan sanksi besar terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia, Rosneft dan Lukoil, sebagai bagian dari upaya menekan Moskow agar menghentikan perang di Ukraina.

Melalui platform Truth Social, Trump menyebut langkah ini sebagai sanksi “luar biasa besar”, sementara Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan kedua perusahaan tersebut menjadi sumber utama pendanaan bagi “mesin perang Kremlin”.

Bessent menegaskan, keputusan ini diambil karena Presiden Rusia Vladimir Putin menolak mengakhiri perang yang disebutnya “tanpa makna”.

Dikutip dari BBC, Kamis, 23 Oktober 2025, kebijakan baru ini muncul sepekan setelah Inggris memberlakukan sanksi serupa terhadap kedua perusahaan tersebut, serta sehari setelah Trump mengumumkan bahwa rencana pertemuannya dengan Putin di Budapest akan ditunda tanpa batas waktu.

“Setiap kali saya berbicara dengan Vladimir, pembicaraannya baik, tapi tidak pernah menghasilkan apa pun,” kata Trump setelah bertemu Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte untuk membahas negosiasi damai.

“Saya rasa sudah waktunya. Kami sudah menunggu terlalu lama,” ujar Trump.

Sanksi yang diberlakukan oleh Kantor Pengawasan Aset Asing (OFAC) Departemen Keuangan AS ini secara efektif memasukkan Rosneft dan Lukoil ke dalam daftar hitam. Rosneft, perusahaan milik negara yang dipimpin sekutu dekat Putin, Igor Sechin dan Lukoil, yang berstatus swasta, menguasai hampir separuh ekspor minyak mentah Rusia, sekitar 3,1 juta barel per hari.

Menurut pemerintah Inggris, Rosneft sendiri menyumbang hampir separuh produksi minyak Rusia, setara dengan 6% dari total produksi minyak global.


Menekan Ekonomi Perang

Trump telah menjadikan upaya mengakhiri perang Rusia–Ukraina sebagai fokus kebijakan luar negerinya, namun perundingan dengan Putin sejauh ini tidak menunjukkan kemajuan. Ia sebelumnya sempat menyatakan bahwa pertempuran sebaiknya “dihentikan di garis depan saat ini,” usulan yang ditolak Moskow.

Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menegaskan bahwa posisi Rusia “tidak berubah,” dan tetap menuntut penarikan pasukan Ukraina dari wilayah Donbas.

Namun, Washington berharap sanksi terhadap dua pilar utama ekonomi Rusia itu dapat memaksa Kremlin meninjau ulang sikapnya. Menurut Dr. Stuart Rollo, peneliti di Centre for International Security Studies Universitas Sydney, sanksi tersebut memiliki dua tujuan utama.

“Pertama, untuk menghambat kapasitas industri Rusia dalam melanjutkan perang; kedua, untuk memaksa Moskow menerima kesepakatan damai melalui tekanan ekonomi,” ujarnya kepada BBC.

Ia menambahkan, “Dampaknya terhadap kemampuan militer mungkin terbatas, tetapi bisa efektif secara diplomatik jika AS menyeimbangkan antara ancaman ekonomi dan tawaran insentif perdamaian.”

Sementara itu, Michael Raska, dosen di Military Transformations Programme Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, menilai sanksi ini “tidak akan mengubah keseimbangan militer dalam waktu dekat.”

Namun, ia memperingatkan bahwa penyusutan keuntungan industri energi akan menempatkan Rusia dalam dilema antara menjaga stabilitas sosial dan mendanai perang berkepanjangan.


Dampak Global

Sanksi baru ini diperkirakan mengguncang ekonomi Rusia, mengingat pajak dari sektor minyak dan gas menyumbang sekitar seperempat anggaran federal negara tersebut. Namun, efeknya juga dapat menjalar ke negara-negara lain yang bergantung pada energi Rusia.

Tiongkok dan India merupakan dua pelanggan terbesar Moskow. Tahun lalu, Tiongkok membeli lebih dari 100 juta ton minyak mentah Rusia sekitar 20% dari total impornya, sementara impor minyak India dari Rusia melonjak tajam hingga mencapai USD140 miliar sejak 2022.

Trump sebelumnya telah mengenakan tarif 25% terhadap barang-barang dari India, yang disebutnya sebagai “pembalasan” atas pembelian minyak dari Rusia. Ia menyebut Perdana Menteri India Narendra Modi telah berjanji untuk “tidak membeli banyak minyak dari Rusia” karena juga ingin melihat perang berakhir.

Namun, penolakan untuk menghentikan impor dapat membuat kedua negara tersebut terancam terkena sanksi sekunder dari AS. Mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Edward Fishman, menilai efektivitas sanksi ini bergantung pada langkah selanjutnya Washington.

“Apakah AS akan benar-benar mengancam bank-bank Tiongkok, pedagang di Uni Emirat Arab, dan kilang minyak India yang masih bertransaksi dengan Rosneft atau Lukoil?” tulisnya di platform X.

Kilang milik negara India kini tengah meninjau dokumen perdagangan mereka untuk memastikan tidak ada pasokan yang berasal langsung dari dua perusahaan yang terkena sanksi tersebut. Perusahaan energi Reliance, pembeli terbesar minyak Rusia di India, juga dilaporkan menyesuaikan ulang impor minyak mentahnya dari Moskow.

Di pasar global, pengumuman sanksi Trump menyebabkan harga minyak Brent naik 5%, jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan 1,6% yang terjadi setelah Inggris mengumumkan sanksinya pekan lalu.

Kedutaan Rusia di London sebelumnya memperingatkan bahwa menargetkan perusahaan energi besar Rusia dapat mengganggu pasokan global dan menaikkan harga bagi konsumen di seluruh dunia.

Namun, Dr. Rollo berpendapat lonjakan harga itu kemungkinan bersifat sementara. “Dalam jangka menengah hingga panjang, dampak terhadap harga minyak global akan terbatas, kecuali sanksi sekunder terhadap sektor keuangan dan pengiriman diberlakukan secara ketat,” pungkas Dr. Rollo.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)