Kennorton Hutasoit, Jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Istimewa
Oleh: Dr. Kennorton Hutasoit *
Pada 17 September 2025, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah strategis untuk memperkuat komunikasi pemerintahan. Presiden melantik Muhammad Qodari sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) dan Angga Raka Prabowo sebagai Kepala Badan Komunikasi Pemerintah (BKP). Langkah ini menjadi bagian dari reshuffle kabinet jilid ketiga yang bukan hanya mengisi posisi menteri kosong, tetapi juga membangun ulang mesin komunikasi pemerintah agar lebih terkoordinasi.
Pelantikan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik pasca demonstrasi besar 25 - 28 Agustus 2025 yang diwarnai kerusuhan. Aksi tersebut mengusung 17 tuntutan dan 8 agenda perbaikan, mulai dari transparansi anggaran, evaluasi menteri, perbaikan kebijakan subsidi, hingga perlindungan hak-hak sipil. Tuntutan 17+8 ini juga secara angka bertepatan dengan tanggal 8 September reshuffle kedua dan 17 September reshuffle ketiga.
Respons awal pemerintah saat itu dinilai kurang cepat dan terfragmentasi. Narasi pemerintah di media sosial sempat tertinggal dibanding narasi tandingan masyarakat sipil yang lebih cepat mengisi ruang percakapan publik. Sebagai respons, Presiden Prabowo merombak kabinet. Presiden ingin memulihkan kepercayaan publik sekaligus mengelola dinamika isu strategis secara lebih baik.
Selain pelantikan Qodari dan Angga, realitas komunikasi pemerintahan saat ini juga ditandai dengan penunjukan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sebagai Juru Bicara Presiden sejak April 2025. Posisi ini memperkuat kanal komunikasi resmi presiden agar pesan yang keluar konsisten. Menariknya, konsep narasi tunggal sebenarnya bukan hal baru, sebab di era Presiden Joko Widodo, narasi tunggal menjadi kebijakan komunikasi utama. Jokowi secara tegas meminta kementerian/lembaga menyampaikan pesan seragam untuk mencegah kebingungan publik dan ego sektoral.
Kombinasi tiga simpul komunikasi - KSP, BKP, dan Jubir Presiden - kini membentuk poros komunikasi pemerintahan yang lebih kompleks daripada sebelumnya. Pertanyaannya: apakah konfigurasi baru ini benar-benar mampu menjawab tantangan komunikasi krisis dan memulihkan kepercayaan publik?
Kantor Staf Presiden (KSP), sesuai Perpres No. 83 Tahun 2019, bertugas membantu Presiden mengendalikan program prioritas nasional, menyelesaikan hambatan kebijakan, serta mengelola isu strategis dan komunikasi politik lintas kementerian. Di bawah kepemimpinan baru Muhammad Qodari, seorang analis politik, pendiri Indo Barometer, dan doktor ilmu politik, KSP diharapkan menjadi pusat policy intelligence, menganalisis opini publik, dan merumuskan narasi berbasis data.
Badan Komunikasi Pemerintah (BKP) adalah lembaga baru pengganti Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO). BKP dipimpin Angga Raka Prabowo, kader muda Gerindra dan Wamen Komdigi, yang dikenal berpengalaman dalam kampanye digital. BKP memiliki mandat menyinkronkan komunikasi pemerintah pusat dan daerah, mendiseminasikan informasi kebijakan, dan memastikan pesan seragam di semua lini.
Secara desain, KSP dan BKP seperti dua roda: KSP merumuskan strategi dan narasi, sedangkan BKP mengeksekusi, mengoordinasikan kementerian/lembaga, dan mendistribusikan pesan ke publik. Alur komunikasi idealnya: arahan Presiden ? analisis KSP ? eksekusi BKP ? publik ? feedback ? kembali ke KSP. Dengan pola ini, pemerintah dapat mengisi ruang publik secara lebih cepat dan konsisten.
Namun, ada tantangan: fungsi diseminasi informasi KSP berpotensi tumpang tindih dengan BKP. Tanpa protokol komunikasi yang jelas, publik bisa mendengar pesan yang berbeda dari dua lembaga sekaligus. Selain itu, rangkap jabatan Angga sebagai Kepala BKP dan Wamen Komdigi bisa menjadi kekuatan koordinasi digital, tapi juga berisiko menambah beban kerja dan memperlambat respons.
Analisis Komunikasi Organisasi
Dari perspektif komunikasi organisasi, penguatan KSP dan BKP pasca reshuffle adalah upaya membangun sistem komunikasi terpadu. KSP bertindak sebagai think tank strategis, BKP sebagai execution engine. Kekuatan konfigurasi ini ada pada sinergi dua figur kunci: Qodari dengan analisis berbasis data dan Angga dengan kemampuan komunikasi digital yang lincah.
Namun, komunikasi organisasi yang sehat tidak hanya butuh struktur, tetapi juga alur koordinasi yang jelas, kecepatan pengambilan keputusan, dan konsistensi framing. Tanpa protokol krisis bersama, risiko kebingungan pesan akan tetap tinggi, terutama dalam situasi krisis seperti demonstrasi besar atau bencana nasional
Dalam kerangka Situational Crisis Communication Theory (SCCT) pemerintah berada pada tahap rebuild. Reshuffle kabinet dan pelantikan dua figur komunikasi adalah sinyal corrective action. Namun SCCT juga menekankan kecepatan dan konsistensi. Jika KSP, BKP, dan Jubir Presiden bekerja selaras, narasi pemerintah akan lebih cepat daripada narasi tandingan. Jika tidak, krisis bisa berkembang menjadi secondary crisis berupa erosi kepercayaan.
Dalam The Theory of Communicative Action, Jürgen Habermas menuntut komunikasi yang memenuhi kebenaran, ketepatan, dan ketulusan. Pemerintah harus transparan, tepat dalam memilih saluran komunikasi, dan tulus dalam menyampaikan komitmen perbaikan. KSP merumuskan pesan yang memenuhi ketiga dimensi ini, sementara BKP dan Jubir Presiden memastikan penyampaiannya dialogis dengan membuka ruang bagi partisipasi publik, bukan sekadar top-down.
Kerangka normatif Habermas dapat dioperasionalkan melalui Model PR Excellence (Grunig & Hunt). Model dua-arah simetris ini menuntut pemerintah untuk tidak hanya berbicara tetapi juga mendengarkan. BKP dapat menciptakan feedback loop sistematis: memantau percakapan publik, mengumpulkan keluhan, dan menyampaikannya ke KSP sebagai bahan perbaikan kebijakan. Qodari dapat memastikan hasil monitoring ini benar-benar memengaruhi narasi pemerintah.
Model PR Excellence ini juga perlu dilengkapi dengan komunikasi berbasis emosi yakni narasi yang menggerakkan, bukan hanya data. Dalam konteks demonstrasi, pemerintah bisa menampilkan empati publik melalui bahasa yang menyentuh, bukan sekadar teknokratis.
Artikel ini tidak hanya menerapkan teori, tetapi juga memperluasnya. Teori Habermas sering dianggap terlalu normatif, mengasumsikan semua aktor bersedia berdialog rasional, padahal dalam politik sering terjadi polarisasi. Model PR Excellence juga idealistik, kurang memperhitungkan dinamika viralitas digital dan kebutuhan respons cepat. Karena itu, artikel ini menawarkan Model Deliberative-Actionable PR (DAPR), sebagai sebuah model komunikasi pemerintahan yang menggabungkan:
Pertama, respons cepat (rapid response layer): pesan awal yang jelas dan empatik dalam hitungan jam.
Kedua, loop partisipatif: forum publik dan survei daring untuk menyerap aspirasi.
Ketiga, co-creation narasi: hasil dialog diterjemahkan menjadi pesan bersama.
Keempat, resonansi emosional: komunikasi menggunakan storytelling, visual, dan framing yang menyentuh publik, dan
kelima Iiterasi berkelanjutan: narasi diperbarui sesuai feedback publik.
Berdasarkan uraian dan analisis, artikel ini merekomendasikan 8 hal yaitu:
Pertama, menetapkan protokol komunikasi krisis bersama KSP–BKP–Jubir untuk mencegah duplikasi pesan;
Kedua, satu pintu narasi: gunakan Jubir Presiden sebagai simpul komunikasi utama pada isu krisis;
Ketiga, lakukan diseminasi data real-time untuk menangkal hoaks;
Keempat, memperkuat monitoring media sosial agar respon berbasis data;
Kelima, memuka ruang dialog publik (offline & online) pasca krisis untuk mendengar aspirasi;
Keeman, mempublikasikan hasil penanganan krisis dengan bahasa empatik, bukan sekadar teknis; Ketujuh, melatih pejabat komunikasi kementerian agar narasi seragam; dan
Kedelapan, mengevaluasi periodik efektivitas komunikasi dan publikasikan hasilnya sebagai wujud akuntabilitas.
Pada akhirnya, pelantikan Muhammad Qodari dan Angga Raka Prabowo, ditambah keberadaan Jubir Presiden, adalah momentum penting bagi pemerintah untuk memperbaiki komunikasi publik. Publik menunggu bukti bahwa pemerintah mampu berbicara dengan satu suara, cepat merespons krisis, dan mendengarkan aspirasi rakyat. Demonstrasi besar akhir Agustus lalu adalah alarm keras bahwa komunikasi pemerintah tidak boleh lagi hanya bersifat defensif.
Pemerintah dengan sinergi KSP–BKP–Jubir, protokol komunikasi krisis yang jelas, dan penerapan model komunikasi deliberatif-aksi (DAPR), diharapkan dapat mengubah krisis menjadi momentum untuk membangun kepercayaan publik dan memperkuat legitimasi kebijakan. Jika pemerintah mampu menjalankan komunikasi yang jujur, cepat, partisipatif, dan menyentuh emosi publik, maka bukan hanya citra pemerintahan yang akan pulih, tetapi juga kualitas demokrasi Indonesia yang akan terangkat, semakin baik.
* Penulis adalah Jurnalis Metro TV dan Doktor Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Komunikasi Politik)