Duterte Ditahan, Mantan Hakim ICC: Tidak Ada Kekebalan bagi Kepala Negara!

Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Foto: Anadolu

Duterte Ditahan, Mantan Hakim ICC: Tidak Ada Kekebalan bagi Kepala Negara!

Fajar Nugraha • 14 March 2025 12:03

Den Haag: Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, resmi ditahan di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, pada Rabu 12 Maret 2025 untuk menghadapi dakwaan pembunuhan terkait kampanye perang terhadap narkoba yang ia jalankan selama masa jabatannya.

Duterte, yang berusia 79 tahun, sebelumnya ditangkap di Manila pada Selasa sebelum diterbangkan menggunakan pesawat carteran ke Bandara Rotterdam The Hague. Ia menjadi mantan kepala negara Asia pertama yang menghadapi persidangan di ICC.

Tetapi apa alasan dari ICC untuk melakukan penangkapan itu? ICC menyatakan memiliki "alasan yang masuk akal" untuk mendakwa Duterte sebagai "pelaku tidak langsung" dalam kejahatan terhadap kemanusiaan atas tewasnya ribuan orang dalam operasi pemberantasan narkoba.

Kampanye perang melawan narkoba picu investigasi ICC

Mantan hakim ICC, Raul Pangalangan, menegaskan bahwa hukum pidana internasional telah berkembang untuk menuntut pertanggungjawaban para pemimpin tertinggi pemerintah atas tindakan mereka.

"Tidak ada kekebalan bagi kepala negara, termasuk untuk tindakan yang dilakukan oleh Presiden Duterte, bahkan saat ia masih menjabat," ujar Pengalangan, seperti dikutip Channel News Asia, Jumat 14 Maret 2025.

Duterte akan segera dihadirkan di hadapan hakim ICC dalam beberapa hari mendatang untuk menjalani sidang awal. Pada tahap ini, dakwaan terhadapnya akan disampaikan secara resmi di pengadilan.

Menurut Pangalangan, yang juga merupakan profesor hukum di Universitas Filipina, tahap berikutnya adalah konfirmasi dakwaan. Pada tahap ini, tim kuasa hukum Duterte diperkirakan akan menyampaikan keberatan, termasuk mempertanyakan yurisdiksi ICC atas kasus tersebut.

Dalam sebuah video yang diunggah ke halaman Facebook pribadinya pada Rabu, Duterte menyatakan bahwa dirinya siap bertanggung jawab atas kebijakan yang dijalankannya selama menjabat sebagai presiden dari 2016 hingga 2022.

Selama masa pemerintahannya, Kepolisian Filipina mencatat sekitar 6.200 orang tewas dalam operasi pemberantasan narkoba. Namun, kelompok aktivis menuding angka sebenarnya jauh lebih tinggi.

Penyelidikan awal terhadap kampanye berdarah ini dimulai oleh kantor kejaksaan ICC pada 2018. Tak lama setelah itu, Duterte mengumumkan penarikan Filipina dari Statuta Roma, perjanjian yang menjadi dasar berdirinya ICC. Penarikan ini resmi berlaku pada Maret 2019.

Meski demikian, berdasarkan Statuta Roma, ICC tetap memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan yang terjadi selama Filipina masih menjadi anggota, termasuk kasus-kasus yang terjadi sebelum penarikan resmi.

Perebutan yurisdiksi dan upaya Pembebasan Duterte

Tim hukum Duterte telah mengajukan petisi ke Mahkamah Agung Filipina untuk membebaskannya dan memindahkan persidangan ke pengadilan dalam negeri.

Namun, Pangalangan menyatakan bahwa pengadilan domestik tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan pembebasan tersangka yang sudah berada di bawah yurisdiksi ICC.

"Saya membayangkan Mahkamah Agung Filipina akan memproses petisi tersebut, tetapi ICC tetap memiliki otoritas penuh untuk menjalankan persidangan hingga ada keputusan akhir, apakah membebaskan atau menghukum Duterte," jelasnya.

Saat ini, Duterte ditahan di pusat penahanan yang berlokasi di pesisir Belanda. Pangalangan menjelaskan bahwa seorang terdakwa dapat ditahan selama proses persidangan jika terdapat risiko melarikan diri atau tidak kooperatif.

"ICC sangat menjunjung hak terdakwa untuk menjalani persidangan yang adil," tegasnya. "Kami tidak mengizinkan persidangan in absentia. Artinya, kehadiran terdakwa diwajibkan selama proses persidangan berlangsung."


Dinamika politik di balik penahanan Duterte

Pengamat menilai bahwa penahanan Duterte tidak lepas dari konflik politik yang semakin memanas antara keluarga Duterte dan keluarga Marcos di Filipina.

Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr., sebelumnya menegaskan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi di negaranya. Namun, hubungan politik antara dua dinasti terbesar di Filipina ini memburuk dalam beberapa bulan terakhir.

Wakil Presiden Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte dimakzulkan pada Februari lalu atas tuduhan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Marcos Jr. dan beberapa kejahatan lainnya.

Ronald Holmes, profesor ilmu politik dari Universitas De La Salle, menilai bahwa perseteruan ini menunjukkan rapuhnya aliansi politik kedua keluarga tersebut.

"Itu memang aliansi yang lemah sejak awal. Kemitraan ini dibentuk hanya untuk meraih kemenangan dalam pemilu, tetapi mereka memiliki kepentingan yang saling bertabrakan," ujar Holmes kepada CNA dalam program Asia Now.

Terkait masa depan politik dinasti Duterte, Holmes menilai mereka kemungkinan besar tidak akan sepenuhnya hilang dari panggung politik Filipina.

"Di Filipina, dinasti politik jarang benar-benar menghilang. Mereka mungkin meredup untuk sementara, tetapi biasanya akan bangkit kembali di waktu yang akan datang," pungkasnya.

(Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)