Ilustrasi beras. Foto: MI/Kristiadi
Media Indonesia • 13 February 2024 11:11
Jakarta: Badan Pangan Nasional (Bapanas) didorong untuk meninjau ulang kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras. Itu dinilai menjadi salah satu faktor kelangkaan beras premium di pasar ritel dalam beberapa hari ke belakang. Sebab, dengan ketentuan itu, pedagang ataupun penggiling dinilai merugi.
"Pedagang dan penggilingan padi tidak lagi memasok ke ritel-ritel modern karena merugi. Pengelola ritel modern tidak berani melanggar HET," ungkap pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori saat dihubungi, dikutip Selasa, 13 Februari 2024.
Jika pedagang dan penggilingan tetap ingin menjual produknya di ritel modern atau pasar modern, lanjutnya, rerata pengelola ritel membeli harga di bawah HET Rp13.900 per kg agar peritel tidak merugi. Jika peritel modern ambil untung Rp200 per kg, maka harga yang diterima dari pedagang atau penggilingan Rp13.700 per kg.
"Kalau untung peritel lebih besar dari itu, harga dari pedagang atau penggilingan lebih rendah lagi, alias kerugian pedagang maupun penggilingan lebih besar lagi," jelas Khudori.
Ketimbang merugi, imbuhnya, pedagang dan penggilingan saat ini lebih banyak menjual beras mereka di pasar tradisional. Karena itu, situasi beras di pasar tradisional sepertinya tampak tidak ada masalah pasokan.
Di pasar tradisional juga tidak ada pembatasan pembelian seperti di pasar modern. Itu karena di pasar tradisional sejak ada HET, beleid itu tak pernah dipatuhi. "Karena itu, penting buat pemerintah lewat Badan Pangan Nasional untuk menimbang ulang HET beras," jelas dia.
"Kebijakan yang sudah berlaku sejak September 2017 itu perlu dievaluasi efektivitasnya di pasar seperti apa, termasuk dampaknya pada industri perberasan secara keseluruhan. Dalam waktu yang sama, tidak ada salahnya buat Bapanas untuk menghitung ulang biaya produksi padi. Jangan-jangan harga gabah yang tinggi dan terus naik itu lantaran struktur ongkos produksi memang sudah berubah," tambah Khudori.
Dari kacamata yang lebih luas, Khudori menjelaskan, produksi beras domestik memang sedang dalam posisi terbatas. Paceklik diperkirakan akan terjadi sampai April. Panen besar kemungkinan baru terjadi di akhir April atau awal Mei 2024. Itu dinilai menjadi krusial lantaran pada Maret ada Ramadan dan April ada Idulfitri.
Penting bagi pemerintah untuk memastikan pasokan beras dalam jumlah memadai. Jika tidak, harga potensial naik dan bisa menimbulkan kegaduhan, bahkan berdampak ke soal sosial-politik.
Merujuk data BPS, produksi Januari-Februari 2024 ini masih kecil. Produksi dua bulan itu masih kurang 2,8 juta ton untuk menutupi kebutuhan konsumsi di dua bulan tersebut. Produksi di Maret lumayan besar, sehingga diperkirakan akan ada surplus 0,97 juta ton beras.
"Tapi surplus ini dipastikan akan jadi rebutan banyak pihak. Panen di April pun akan bernasib sama, jadi rebutan banyak pihak. Terutama untuk mengisi jaring-jaring distribusi yang berbulan-bulan kering kerontang karena paceklik," terang Khudori.
Baca juga: Satgas Pangan Polri Ungkap Faktor Penyebab Harga Beras Terus Melonjak