ilustrasi medcom.id
Media Indonesia • 18 November 2024 23:39
Depok: Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Kota Depok, Jawa Barat memungut bayaran pembangunan jutaan rupiah per siswa. Bayaran yang melebihi dari SMK swasta ini dikeluhkan wali murid.
Tak terima dijadikan sebagai sumber ekonomi sekolah, keluhan tersebut diadukan wali murid ke DPRD Provinsi Jawa Barat, DPRD Kota Depok. Termasuk Dewan Pimpinan Daerah Partai Solidaritas Indonesia (DPD PSI) Kota Depok.
Wakil Ketua DPD PSI Kota Depok Icuk Pramana Putra mengecam adanya pungutan uang kepada wali murid. "Tidak punya alasan, jika SMKN 3 melakukan pungutan pembangunan sekolah. Biaya pembangunan sekolah sudah ditanggung pemerintah melalui APBN dan APBD Provinsi Jawa Barat, " tegas Icuk, Senin, 18 November 2024.
Berdasarkan laporan, kata Icuk SMKN 3 memungut dana pembangunan sekolah Rp1,4 juta per siswa. Siswa SMKN 3 berjumlah 1.400 orang. Jika dikalikan, total uang yang dipungut dari siswa besarnya Rp1,9 miliar.
Icuk mengatakan, apapun dalilnya SMKN 3 Kota Depok tak boleh memintai dana dari siswa. Karena segala sesuatunya sudah diakomodir pemerintah pusat melalui bantuan operasional (BOS) dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui APBD.
"Jika SMKN 3 membutuhkan pembangunan gedung dan sarana prasarana lainnya minta saja ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Jangan dibebankan ke orang tua-lah."
"Kami melihat SMKN 3 yang berlindung di ketiak Komite Sekolah, sudah tidak takut lagi kepada tindak pidana korupsi. Herannya dikemanakan dana BOS yang senilai Rp1,6 juta per siswa itu, ini harus diusut karena jelas-jelas melanggar hukum, " ujar Icuk.
Icuk pun meminta Kejaksaan Negeri Kota Depok supaya mengusut kasus ini. Pungutan yang dibalut dengan mengatasnamakan komite sekolah ini harus di usut tuntas." Kami percaya Kejaksaan yang telah dipercaya rakyat akan bekerja obyektif dan transparan, " tukasnya
Icuk juga menyesalkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang membiarkan gedung sekolah negeri tingkat SMA-SMK di Kota Depok tidak berkualitas, di mana sebagian siswa masih belajar di ubin karena tidak ada meja belajar.
"Siswa sekolah negeri tingkat SMA-SMK masih ada yang belajar di ubin, " imbuh Icuk.
Buruknya kualitas sarana dan prasarana sekolah negeri tingkat SMA-SMK di Kota Depok, Icuk meminta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mengembalikan status pengelolaan SMAN-SMKN Kota Depok ke Pemerintah Kota Depok.
"Bagusnya pengelolaan SMAN dan SMKN Kota Depok dikembalikan saja ke Kota Depok," tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat Ono Surono mengecam juga permintaan uang kepada orang tua siswa di SMKN 3 Kota Depok. Ono mengatakan berdasarkan informasi yang dia terima, uang Rp1,4 juta per siswa tersebut akan digunakan untuk pembuatan kanopi RPLS, pembangunan gedung UKS, gedung BP hingga perbaikan pagar.
Ono mengatakan, jika komite sekolah ingin melakukan penggalangan dana kepada orang tua siswa harus dilakukan secara inovatif dan tidak sepihak sebagaimana terdapat dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 97 Tahun 2022.
“Kalaupun tugas komite sekolah untuk menggalang dana baik kepada orang tua siswa, pihak ketiga, swasta maupun yang lainnya, dalam peraturan gubernur harus dilakukan dengan cara yang inovatif, kreatif, dan lain sebagainya,” ujar Ono.
Menurut dia, apa yang terjadi di SMKN 3 tersebut merupakan praktik pungutan liar lantaran bertentangan dengan aturan yang ada. Terlebih, komite sekolah melakukan penggalangan dana secara sepihak dan membebankan biaya yang sama kepada seluruh orangtua siswa.
“Berdasarkan undang-undang, peraturan menteri, peraturan gubernur, hal itu dilarang. Maka itu, komite sekolah seharusnya tidak melakukan hal tersebut,” ucapnya.
Ono menyayangkan adanya kejadian ini mengingat anggaran pendidikan di Jawa Barat sudah sangat besar atau mencapai 40,3 persen dari APBD. Angka ini melebihi apa yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan harus dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
“Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sarana prasarana tak lagi dibebankan kepada orangtua siswa. Kami juga meminta dilakukan audit terkait kebutuhan sekolah dan anggaran untuk membangun sarana prasarana agar terjadi transparansi di dunia pendidikan Jawa Barat,” tutupnya