Podium Media Indonesia: Tahun Baru Lagi

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Tahun Baru Lagi

Abdul Kohar • 31 December 2025 06:57

SETIAP pergantian tahun, banyak orang memaknainya bukan sekadar pergeseran angka pada kalender, melainkan juga jeda batin untuk menimbang arah perjalanan bersama. Saya sepakat dengan itu. Termasuk saat ini, ketika kita berada di ambang 2026. Pertanyaan mendasarnya bukan hanya apa yang akan terjadi, melainkan siapa kita dan ke mana kita hendak melangkah. Karena itu, bolehlah kita bertanya, apakah kita pantas optimistis, cukup realistis, atau justru terancam pesimistis menapaki tahun baru?

Ingin rasanya saya meniru Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyasanti yang optimistis bahwa perekonomian kita membaik pada 2026. Namun, 'modal keyakinan' saya untuk optimistis tidak setebal keduanya. Saya mesti menyisakan ruang skeptis agar ketika kenyataan tak seindah ekspektasi, tidak terlalu kecewa.

Optimisme Purbaya dan Amalia memang dibangun atas keyakinan pada angka. Terutama, kondisi pada Oktober dan November 2025. Salah satu penanda statistik yang 'mempertebal dompet' optimisme itu ialah indeks keyakinan konsumen (IKK) pada dua bulan terakhir yang hampir menyamai skor awal tahun ini, saat optimisme masih membuncah. Pada dua bulan itu, angka IKK kita 127,2 dan 126,4. Angka di atas 100 menandakan keyakinan konsumen tinggi, atau optimistis.

Sayangnya, mulai Mei hingga Agustus, skor IKK kita anjlok di kisaran 117. Memang masih di atas 100, tapi turun. Optimisme mulai tergerus. Baru pada Oktober dan November, angka IKK naik lagi menjadi 121,2 dan 124. Kenaikan itu menandakan optimisme konsumen bukan saja terjaga, melainkan juga mulai meningkat.

Indeks keyakinan konsumen ialah indikator ekonomi yang menggambarkan tingkat optimisme atau pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan prospeknya ke depan. Secara sederhana, IKK menunjukkan seberapa yakin masyarakat untuk membelanjakan uang mereka. Dalam sebuah pertumbuhan ekonomi suatu negara yang disangga konsumsi, keyakinan konsumen menjadi faktor penting. Ia alarm apakah pertumbuhan ekonomi ke depan bakal naik, stagnan, atau turun.
 


Namun, suatu bentuk optimisme, dalam tradisi kebangsaan, bukanlah sikap menutup mata dari persoalan. Optimisme tak cukup disangga hanya oleh angka. Apalagi hanya satu angka atau indikator, yakni IKK. Bahkan, satu indikator itu pun berkelindan dengan hal ihwal lainnya di 'kamar' berbeda. Karena itu, lebih jauh optimisme mestinya dibangun atas dasar keyakinan moral bahwa masa depan bisa diperbaiki karena manusia diberi akal, nurani, dan kehendak untuk bertindak.

Optimisme lahir deari kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan oleh manusia sempurna, melainkan oleh harapan yang terus diperjuangkan di tengah keterbatasan. Kita punya modal sejarah, yakni kemampuan bertahan, beradaptasi, dan bangkit. Di era inflasi membubung tinggi pada akhir 1960-an, optimisme mengantarkan pada kebangkitan.

Pula, ketika krisis moneter melanda hingga meruntuhkan bangunan kekuasaan Orde Baru yang sepertinya nyaris mustahil roboh pada 1998, optimisme mampu membuat kita menata ulang bangunan itu. Begitu juga saat dua tahun kita dikepung pandemi covid-19 pada 2020 hingga 2022, perlahan tapi pasti, modal optimisme membuat kita bisa bangkit. Namun, optimisme akan kehilangan makna jika tidak disertai kerja nyata dan kesediaan untuk berbenah.


Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Di sinilah realisme mengambil peran. Realisme mengajak kita becermin dengan jujur. Kita hidup di tengah tantangan struktural berupa ketimpangan sosial ekonomi yang masih tinggi, kepercayaan yang mulai terkikis, polarisasi, dan godaan pragmatisme yang kerap menggerus etika publik. Realisme menolak ilusi bahwa waktu dengan sendirinya akan menyembuhkan luka itu. Ia menuntut pembacaan jernih atas data, kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan, serta kepemimpinan yang memadukan kecakapan teknis dan keteladanan moral. Tanpa realisme, optimisme berubah menjadi slogan.

Pada titik itu, optimisme menghadapi 2026 mesti tetap menyisakan skeptisisme. Keraguan akan membuat siapa pun untuk mengikhtiarkan beragam metode, lagi dan lagi. Pada titik tertentu, skeptisisme bisa turun level menjadi pesimisme, tapi pada momen berikutnya bisa naik level menjadi optimisme. Pertaruhan kita ialah menjaga agar 'api optimisme' terus menyala. Up and down itu biasa. Kata Bung Karno, itu jadi gemblengan buat bangsa.

Lalu, apakah ada alasan untuk pesimistis? Pesimisme muncul ketika jarak antara nilai dan praktik makin melebar, ketika kata-kata luhur kehilangan daya ubah. Pesimisme menjadi peringatan, jika kita membiarkan sinisme menguasai ruang publik, jika kepentingan sempit menenggelamkan kepentingan bersama, masa depan akan berjalan tanpa kompas.

Seperti kutipan salah satu bait Sajak Tahun Baru karya WS Rendra yang amat 'kritis' dan 'muram'. Puisi itu ditulis Rendra pada 27 Desember 1989, saat banyak anak bangsa capek oleh janji pembangunan. Sajak itu merekam pesimisme.

'Wajah-wajah yang capek

membayang di air selokan

dan juga di cangkir kopi para cukong.

Bau kumuh dari mimpi yang kumal

menyebar di lorong-lorong pelacuran

dan juga di bursa saham'.


Namun, pesimisme tidak boleh menjadi tempat tinggal. Ia cukup menjadi rambu agar kita tidak lalai. Menyambut 2026, pilihan kita seharusnya bukan salah satu secara tunggal, melainkan sintesis yang dewasa, yakni optimisme yang berakar pada realisme, dan kewaspadaan agar tidak terjerumus ke pesimisme.

Kita perlu merawat harapan dengan kerja, menegakkan nilai dengan kebijakan, dan memuliakan kemanusiaan dalam praktik sehari-hari. Di sanalah kebangsaan menemukan maknanya, bukan sebagai retorika, melainkan sebagai laku.

Akhirnya, masa depan tidak menunggu untuk diramal, tapi ia menunggu untuk diupayakan. Pertanyaannya bukan lagi apakah 2026 akan baik atau buruk, melainkan apakah kita bersedia menjadi warga yang lebih bertanggung jawab, pemimpin yang lebih berintegritas, dan komunitas yang saling menguatkan. Jika jawabannya iya, kita layak optimistis dengan kaki menapak bumi dan mata menatap nilai-nilai yang mempersatukan.

Selamat Tahun Baru lagi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(M Sholahadhin Azhar)