Antrean warga Korea Selatan yang memberikan suara lebih awal dalam pemilu. Foto: Yonhap
Fajar Nugraha • 30 May 2025 17:01
Seoul: Warga Korea Selatan mengantre panjang dalam jumlah yang memecahkan rekor untuk memilih presiden berikutnya pada Jumat, 30 Mei 2025. Ini adalah hari kedua pemungutan suara lebih awal dalam jajak pendapat yang dipicu oleh deklarasi darurat militer yang membawa bencana dari mantan pemimpin Yoon Suk Yeol.
Korea Selatan kini tengah berjuang di bawah kekacauan politik selama berbulan-bulan yang dipicu oleh penangguhan pemerintahan sipil oleh Yoon, yang menyebabkan ia dimakzulkan dan dilucuti dari jabatannya.
Semua jajak pendapat utama telah menempatkan Lee Jae-myung yang liberal sebagai calon terdepan dalam pemilihan presiden. Survei Gallup belakangan ini menunjukkan 49% responden memandangnya sebagai kandidat terbaik. Di bawahnya ada mantan menteri buruh konservatif, Kim Moon-soo, dari Partai Kekuatan Rakyat yang berkuasa dengan jumlah suara 35%.
“Meskipun hari pemilihan ditetapkan pada 3 Juni mendatang, warga yang ingin memberikan suara lebih awal diperbolehkan datang pada hari Kamis dan Jumat pekan ini. Dan hingga pukul 8 pagi waktu setempat pada hari Jumat, rekor 29,97% warga telah memberikan suara dari 44,4 juta pemilih terdaftar,” menurut laporan Komisi Pemilihan Umum Nasional Seoul, dikutip dari Yonhap, Jumat 30 Mei 2025.
Pemungutan suara di luar negeri mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, empat dari lima 1,97 juta pemilih yang memenuhi syarat memberikan suaranya minggu lalu.
Akan tetapi, siapapun presiden terpilihnya, ia harus menghadapi kemerosotan ekonomi, tingkat kelahiran yang rendah, dan biaya hidup yang melonjak. Ia juga harus mengatasi kebuntuan negara adikuasa yang meningkat antara Amerika Serikat dan China. Namun, para analis melihat darurat militer sebagai isu yang menentukan dalam pemilihan presiden.
Kang Joo-hyun, seorang profesor ilmu politik di Universitas Wanita Sookmyung, mengatakan kepada AFP bahwa jumlah pemilih yang tinggi "secara alami mencerminkan keinginan kuat masyarakat untuk memulihkan demokrasi di Korea Selatan".
Kang juga menyebut bahwa warga Korea di luar negeri terdorong untuk menyuarakan pendapat mereka melalui pemungutan suara oleh perasaan bahwa “fondasi demokrasi Korea Selatan sedang terguncang”.
Lee sendiri telah kalah dalam pencalonan presiden tahun 2022 dari Yoon dengan selisih suara yang sangat tipis dalam sejarah. Dikenal karena menonjolkan awal hidupnya yang sederhana, ia telah berjanji untuk "membawa unsur-unsur pemberontakan ke pengadilan" jika terpilih sebagai presiden.
Akan tetapi, profesor ilmu politik Universitas Nasional Seoul, Kang Won-taek, memperingatkan bahwa kesengsaraan politik Korea Selatan masih jauh dari kata selesai. "Ada kemungkinan nyata bahwa kekacauan dan krisis politik yang telah kita lihat dapat muncul kembali," kata Kang.
Lee telah menjadi "tokoh utama dalam polarisasi yang telah memicu sebagian besar ketidakstabilan politik negara", katanya. "Kecuali jika ia mengadopsi pendekatan yang jauh lebih inklusif terhadap tata kelola, ada kemungkinan besar konflik masa lalu akan muncul kembali."
(Nada Nisrina)