Ilustrasi. Pexels.
Despian Nurhidayat • 19 October 2025 13:04
Jakarta: Studi dalam jurnal Pain dan Scientific Reports menunjukkan mendengarkan musik dapat mengurangi persepsi rasa sakit dan meningkatkan daya tahan terhadapnya. Namun, kuncinya bukan pada genre, melainkan pada pilihan pribadi dan cara mendengarkan.
"Rasa sakit adalah pengalaman yang kompleks. Ia bukan hanya soal sinyal dari saraf, tapi juga bagaimana pikiran dan emosi kita menanggapinya," ungkap psikolog dari Florida State University, Adam Hanley, dikutip Mediaindonesia.com, Minggu, 19 Oktober 2025
Dua pasien dengan luka serupa bisa merasakan tingkat nyeri yang berbeda, tergantung pada kondisi mental dan emosional mereka. Musik, kata Hanley, bisa memengaruhi bagian otak yang memproses hal-hal tersebut.
Selama ini, musik sering dianggap hanya sebagai ‘pengalih perhatian’ dari rasa sakit. Namun penelitian terbaru memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam.
"Musik tidak hanya membuat seseorang lupa pada rasa sakit. Ia mengaktifkan hampir seluruh bagian otak, mulai dari pusat emosi hingga memori," kata psikolog di McGill University, Caroline Palmer.
Dengan kata lain, ketika seseorang mendengarkan lagu kesukaannya, otak mengeluarkan respons yang dapat menurunkan sensitivitas terhadap nyeri. Efek ini juga terlihat pada studi yang dilakukan Erasmus University Rotterdam, Belanda, terhadap 548 partisipan.
Mereka diminta mendengarkan lima genre musik, klasik, pop, rock, urban, dan elektronik, sementara tangan mereka terpapar suhu dingin ekstrem. Hasilnya, semua genre membantu mengurangi rasa sakit, tetapi yang paling efektif adalah musik yang disukai pribadi pendengar.
"Banyak yang mengira
musik klasik paling menenangkan. Padahal, justru musik favorit, apa pun genrenya, yang memberi efek paling besar," kata salah satu peneliti, Dr. Emy van der Valk Bouman.
Bagi sebagian pasien, kesempatan untuk memilih lagu sendiri menjadi bentuk kendali di tengah situasi yang tak menentu.
"Bagi orang dengan kondisi kronis, pilihan kecil seperti menentukan lagu dapat memberi rasa agensi—kendali atas tubuh mereka sendiri,” kata Direktur Music and Health Psychology Lab di Trinity College Dublin, Claire Howlin.
Ilustrasi. Dok Pexels.
Menurutnya, pasien yang diberi kebebasan memilih musik cenderung menunjukkan peningkatan toleransi terhadap nyeri. Hal serupa ditemukan oleh Hanley, yang meneliti dampak mendengarkan dengan penuh perhatian (mindful listening).
Ia menemukan, mendengarkan musik secara sadar setiap hari dapat menurunkan intensitas nyeri kronis. "Musik menyalakan bagian otak yang memberi dorongan emosional positif. Itu membuat pikiran keluar dari lingkaran rasa sakit," jelas Hanley.
Berbeda dengan obat, terapi musik tidak menimbulkan efek samping. Karena itu, sejumlah rumah sakit di Amerika Serikat mulai mengintegrasikan musik ke dalam perawatan pasien, baik dalam bentuk rekaman maupun pertunjukan langsung.
"Musik mengubah persepsi terhadap rasa sakit sekaligus mengurangi rasa cemas dan kesepian," kata terapis musik di Los Angeles, Kate Richards Geller.
Ia menambahkan, otak manusia ‘menyala’ secara menyeluruh saat mendengarkan musik, memicu efek psikologis dan fisiologis yang menenangkan.
Bagi Cecily Gardner, penyanyi jaz asal California, pengalaman itu sangat pribadi. Musik membantunya melewati masa sakit berat, dan kini ia sering bernyanyi untuk teman-teman yang juga sedang berjuang melawan nyeri.
"Musik mengurangi stres, menghubungkan orang, dan membawa kita ke tempat yang lebih baik,” ujar Gardner.
Penelitian tentang hubungan antara musik dan nyeri masih terus berkembang. Para ilmuwan kini berusaha memahami jalur saraf mana yang bekerja ketika seseorang merasakan pereda nyeri melalui musik.
Namun satu hal sudah pasti, musik bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari perjalanan penyembuhan manusia. Bagi sebagian pasien, sebaris lirik atau dentingan senar bisa menjadi morfin alami, membawa mereka kembali bernapas lega, meski hanya untuk beberapa menit yang berharga.