Wamenlu RI Ajak Komunitas Global Dukung Penuh Upaya Rekonsiliasi Libya

Wamenlu Anis Matta saat ditemui awak media di Jakarta, Senin, 15 Desember 2025. (Metrotvnews.com)

Wamenlu RI Ajak Komunitas Global Dukung Penuh Upaya Rekonsiliasi Libya

Muhammad Reyhansyah • 15 December 2025 23:21

Jakarta: Wakil Menteri Luar Negeri RI Anis Matta mengajak komunitas global untuk memberikan dukungan penuh terhadap upaya masyarakat Libya menemukan jalan damai setelah bertahun-tahun dilanda konflik berkepanjangan.

Anis Matta menilai situasi di Libya saat ini telah mengalami perubahan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 

Setelah melewati fase konflik yang panjang, para pihak di Libya dinilai mulai menyadari bahwa perang bukan lagi solusi dan rekonsiliasi menjadi satu-satunya jalan untuk membangun masa depan negara tersebut.

“Indonesia mengajak pihak internasional untuk memberikan dukungan kepada masyarakat Libya untuk menemukan jalan damai di antara mereka,” ujar Anis Matta saat ditemui awak media usai Sidang Komisi Bersama (SKB) Kedua Indonesia–Libya di Jakarta, Senin, 15 Desember 2025.

Menurut Anis, momentum ini harus dimanfaatkan untuk mendorong terbentuknya pemerintahan bersama yang lahir dari kesepakatan internal, bukan tekanan eksternal. 

Indonesia, kata dia, meyakini bahwa proses perdamaian yang berkelanjutan hanya bisa tercapai jika berangkat dari kehendak rakyat Libya sendiri.

Ia menegaskan bahwa dukungan internasional tetap dibutuhkan, namun harus ditempatkan secara proporsional. Indonesia mendorong agar komunitas global menghormati prinsip “Libya–Libya”, yakni proses penyelesaian konflik yang sepenuhnya ditentukan oleh para pemangku kepentingan di Libya.

“Kita menginginkan proses itu adalah proses Libya–Libya. Artinya biar mereka menyelesaikan, dan kita pihak internasional mendukung apa pun yang disepakati oleh mereka,” tegasnya.

Konflik Libya

Konflik Libya bermula dari gelombang Arab Spring yang melanda Afrika Utara dan Timur Tengah sejak 2010. Awalnya, ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinan Muammar Khadafi belum muncul secara terbuka karena rezim yang represif terhadap kritik. 

Namun setelah revolusi di Tunisia menjalar ke negara-negara kawasan seperti Mesir, Yaman, dan Bahrain, gelombang protes mencapai Libya pada 2011. Rakyat mulai menuntut perubahan dan menyerukan pengakhiran kekuasaan Khadafi yang dinilai semakin otoriter.

Berbeda dengan kudeta terhadap Raja Idris I di masa lalu, gerakan 2011 justru memecah masyarakat Libya. Sebagian warga tetap mendukung Khadafi karena loyalitas politik, kepentingan ekonomi, atau nostalgia terhadap stabilitas awal masa pemerintahannya, sementara kelompok lain menuntut pelengseran rezim. 

Perpecahan ini berkembang menjadi konflik bersenjata antara kubu oposisi dan loyalis Khadafi, yang kemudian melibatkan aktor internasional seperti Amerika Serikat (AS), NATO, dan Prancis. 

Ketika tekanan meningkat dan posisinya semakin terdesak, Khadafi menolak mundur dan memilih bersembunyi, memperpanjang konflik yang hingga kini meninggalkan dampak politik dan keamanan berkepanjangan di Libya.

Baca juga:  Indonesia–Libya Gelar Sidang Komite Bersama ke-2, Sepakat Perluas Kerja Sama

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)