Podium Media Indonesia: Pendulum di Tangan Anak Muda

Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto/MI

Podium Media Indonesia: Pendulum di Tangan Anak Muda

Ahmad Punto • 31 October 2025 06:42

DALAM setiap seremoni peringatan Hari Sumpah Pemuda, tidak terkecuali tahun ini, selalu akan bertebaran kalimat bernuansa heroik untuk menunjukkan besarnya harapan bangsa ini terhadap peran generasi muda. 'Generasi muda adalah penentu masa depan bangsa', 'pemuda harus jadi agen perubahan di era modern', 'anak muda ialah penggerak pembangunan', dan masih banyak yang lain.

Saking bertebarannya, sampai-sampai kita sering menganggapnya omon-omon belaka. Hanya menjadi pemanis naskah-naskah pidato pejabat saat memimpin peringatan Sumpah Pemuda. Lama-lama bahkan menjadi serupa jargon, cuma lantang disuarakan, tapi kering isi. Maknanya tak tergali karena tereduksi menjadi sekadar basa-basi seremoni.

Para pejabat yang melontarkan kalimat itu mungkin juga tidak paham, apakah sebesar itu harapan yang digantungkan bangsa ini kepada para pemuda? Pun, mereka barangkali tidak mengerti apakah generasi muda, yang dengan sederet masalah mereka sendiri saja kadang kepayahan, mampu menyunggi beban berat untuk membangun masa depan negara?

Untuk pertanyaan itu, ada dua kutub jawaban yang berseberangan. Kubu pesimistis menyangsikan anak-anak muda zaman sekarang mau dan mampu berkiprah banyak untuk negeri. Kutub itu melihat bahwa generasi muda saat ini makin banyak yang tercemari oleh mental-mental merusak seperti materialisme dan hedonisme.

Mereka digempur budaya pamer, cuek, masa bodoh. Mereka juga cenderung apatis untuk hal yang menyangkut politik, demokrasi, dan kebangsaan. Boro-boro ikut berpartisipasi dalam urusan bangsa, untuk melayani gaya hidup dan kesenangan pribadi saja mereka mungkin kekurangan waktu.
 


Kalaupun mereka terjun ke dunia politik, misalnya, kepentingan pribadi saja yang mereka tuju, bukan kepentingan bangsa dan masyarakat luas. Cara-cara yang bakal mereka tempuh pun sangat mungkin bukan cara yang semestinya. Nepotisme, mengandalkan koneksi, atau meneruskan dinasti.

Namun, kabar baiknya, kubu yang optimistis kiranya jauh lebih banyak. Kubu itu meyakini bahwa masih banyak anak muda era kini yang memiliki idealisme dan kepedulian cukup tinggi untuk terlibat aktif menuntaskan persoalan-persoalan negara. Mereka optimistis generasi muda akan mampu menjadi motor perubahan, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.

Apa indikasinya? Banyak. Salah satunya yang baru-baru ini dilontarkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra terkait dengan fenomena meningkatnya partisipasi generasi muda dalam mengajukan uji materi undang-undang ke MK. Saldi menyebut ini sebagai tren baru yang menunjukkan tumbuhnya kesadaran baru tentang pentingnya peran warga negara dalam menegakkan konstitusi, terutama dari generasi muda.

Faktanya, keberanian itu sepadan dengan dampaknya. Itu setidaknya bisa dilihat dari permohonan uji materi Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yaitu Enika Maya Octavia, Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, dan Faisal Nasirul Haq. Perjuangan mereka menuai hasil maksimal dengan menghasilkan putusan penting dari MK yang menihilkan ambang batas pencalonan presiden.

Dari isu lingkungan hidup, dua mahasiswa, Leonardo Petersen Agustinus Turnip dan Jovan Gregorius Naibaho, menguji materi Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu di bidang pendidikan ada Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) yang mengajukan uji materi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada keadilan sosial.

Tentu masih banyak contoh lain ihwal kiprah anak muda di berbagai bidang yang positif buat negeri. Karena itu, sesungguhnya kita punya alasan kuat untuk tetap optimistis anak-anak muda Indonesia bakal menyumbang kontribusi penting bagi masa depan bangsa.

Kehadiran mereka menjadi harapan baru bahwa telah muncul kembali kesadaran dari generasi muda untuk bersikap lebih partisipatif jika ingin membenahi atau mengubah negara ini. Mereka memilih tidak menghindar, bahkan berani bertarung dalam isu politik meski selama ini politik kerap dipersepsikan kotor, penuh intrik, dan tipu daya.


Kata Tan Malaka, idealisme ialah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda. Itu artinya, tanpa anak muda, sangat mungkin pengelolaan negara bakal berjalan tanpa idealisme. Tanpa mereka yang bergerak, boleh jadi tidak akan ada perubahan signifikan yang bisa dihasilkan untuk negeri ini pada masa mendatang.

Pendulum ada di tangan generasi muda. Merekalah yang kelak akan menentukan apakah narasi-narasi heroik tentang anak muda pada peringatan Sumpah Pemuda akan berhenti sebatas menjadi jargon atau termanifestasi menjadi fakta sejarah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)