Ilustrasi pabrik industri elektronik. Foto Istimewa.
Jakarta: Konsorsium Korea Selatan yang dipimpin oleh LG memutuskan untuk menarik proyek senilai sekitar 11 triliun won (Rp130,7 triliun) untuk membangun rantai pasokan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia.
Merespon hal itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan bahwa sikap pemerintah terhadap semakin kuatnya pengaruh militer ke dunia bisnis Indonesia menjadikan investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.
"Kekhawatiran tumbuh kuatnya militer di dunia usaha didasarkan pada keputusan usaha yang sering kali di luar keputusan bisnis. Intervensi dari pihak militer akan lebih kuat dan menjadikan kebijakan nasional ditakutkan tidak pro terhadap pelaku usaha, melainkan ke keinginan militer," kata Huda saat dihubungi, Selasa, 22 April 2025.
Yang pasti, sambung dia, kebijakan akhir-akhir ini dari pemerintah membuat kepastian investasi menjadi mengambang. Investor diprediksi akan wait and see kebijakan pemerintah yang bisa menentukan arah pembangunan industri ke depan.
"Salah satunya terkait sikap pemerintah dalam menghadapi perang tarif. Sebagaimana diketahui, dengan timbulnya perang tarif, menggeser permintaan baterai EV yang didominasi oleh mobil dari Tiongkok," ucapnya.
(Ilustrasi. Foto: Dok istimewa)
Dengan adanya hambatan bagi mobil EV Tiongkok masuk ke AS, Huda menilai bahwa pasar akan semakin menyempit yang membuat investasi di baterai EV dinilai kurang menguntungkan.
"Dampaknya bagi Indonesia adalah hilirisasi nikel akan menimbulkan lubang besar di pohon industri nikel. Hilirisasi hanya dimanfaatkan pembuatan baterai EV di Tiongkok. Indonesia tidak akan pernah bisa bangun pabrik baterai EV berskala global," tutur Huda.
Maka dari itu, dirinya meminta agar pemerintah harus melihat lebih detildari keputusan mereka akhir-akhir ini. Sebagai contoh, keputusan mengenai Tingkat Komponen Dalam znegeri (TKDN) menjadi keputusan krusial apakah nantinya tidak perlu manufaktur dalam negeri dengan mengimpor barang jadi ketimbang membangun pabrik yang biasanya besar.
"Selain itu, perluasan peran militer harus dibatasi sesuai dengan kondisi dunia usaha. Militerisme di dunia usaha hanya akan merugikan dari sisi pelaku usaha lainnya. Kekuatan militer yang terlampau besar membatasi ruang gerak dari dunia usaha," ujar dia.
Pengaruh kebijakan Trump
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CoRE), Mohammad Faisal menyebut kebijakan Donald Trump di Amerika sangat berpengaruh besar terhadap industri EV global.
"Krena satu secara prinsip dia tidak pro EV, dan yang kedua juga akan memproteksi pasarnya dari impor, bukan barang-barang yang dibuat di luar pada umumnya, atau membatasi impor. Dan apalagi yang termasuk EV yang itu sebetulnya banyak diproduksi oleh Tiongkok, yang secara politik sekarang merupakan rival atau sasaran perang dagang dari Amerika," ujar Faisal.
Maka dari itu, dengan adanya kebijakan Trump tentu akan membatasi ruang gerak daripada kendaraan EV yang berkaitan dengan Tiongkok.
"Sehingga ini akan membuat para investor yang ada di EV, di banyak negara yang kaitannya dengan Tiongkok, termasuk Indonesia, akan berpikir ulang untuk menanamkan investasi besar," ungkap dia.