Podium Media Indonesia: Jurus Jenderal

Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. Foto: MI/Ebet.

Podium Media Indonesia: Jurus Jenderal

Media Indonesia • 9 September 2025 06:28

BELAKANGAN suara Presiden Prabowo Subianto kerap meninggi terkait dengan kinerja dan perilaku para pembantunya. Ultimatum dikumandangkan.

Meski tak menyebut secara khusus siapa menteri yang berkinerja dan berperilaku buruk, asal bunyi, nirempati kepada rakyat, dan rekam jejak suram, itu menjadi sinyal bahwa mantan Komandan Jenderal Kopassus itu akan melakukan reshuffle (perombakan) Kabinet Merah Putih.

Suara meninggi juga diperlihatkan Prabowo bahkan atas nama Tuhan ketika berbicara soal perang melawan korupsi dan mafia yang diduga bermain di balik peristiwa Agustus kelabu, kerusuhan yang menyebabkan 10 korban tewas.

"Saya akan hadapi mafia-mafia yang sekuat apa pun. Saya bertekad memberantas korupsi, sekuat apa pun mereka. Demi Allah, saya tidak akan mundur setapak pun," kata Prabowo seusai menjenguk 17 polisi dan masyarakat yang menjadi korban demontrasi rusuh di RS Polri, Jakarta Timur, Senin, 1 September 2025.

Prabowo tidak perlu gamang mengatasi kesengkarutan politik, sosial, dan ekonomi di negeri ini yang memicu gelombang unjuk rasa besar-besaran di Jakarta dan sejumlah daerah.

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan 'Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar'.
 

Baca: Mensesneg Bantah Reshuffle Upaya Membersihkan Menteri Jokowi

Prabowo bertanggung jawab atas keberlangsungan pemerintahan, memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri, serta berperan sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata.

Prabowo bersama wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, memiliki modal politik yang besar dengan raihan angka 58% suara rakyat dalam Pilpres 2024.

Tidak perlu ada kebimbangan Prabowo sebagai nakhoda untuk membawa kapal besar bernama Indonesia menuju tujuan bernegara seperti yang dimandatkan konstitusi, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Walakin, perombakan kabinet bukan variabel determinan untuk menciptakan kinerja kabinet sesuai dengan delapan misi pemerintahan (Astacita) karena semua bergantung pada program kerja mereka yang bisa memenuhi asas akuntabilitas, transparansi, responsif, dan partisipasi.

Program kerja pemerintahan jangan mengejar populisme, tetapi harus sesuai dengan kebutuhan, studi kelayakan, dan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dari rakyat.

Pasalnya, kebijakan yang populis atau asal beda dari pendahulunya bisa menjadi jebakan 'betmen' yang akan mempersulit pemerintah dan berdampak bagi rakyat di kemudian hari.

Kebijakan yang populis seperti makan bergizi gratis (MBG), koperasi desa merah putih, dan sekolah rakyat, selain menyedot anggaran negara yang sangat besar, masih diragukan efektif karena kehadiran program-program itu bersifat komando (top down).

Kebijakan pemerintahan semestinya berdasarkan data dan fakta (evidence based policy) dengan skala prioritas untuk menyelesaikan berbagai kebutuhan dasar masyarakat.

Semula anggaran MBG pada 2025 sebesar Rp71 triliun, lalu digelontorkan lagi sebesar Rp100 triliun sehingga total dana yang dikelola Badan Gizi Nasional (BGN) mencapai Rp171 triliun. Selanjutnya pada 2026 meroket jadi Rp335 triliun, atau meningkat tajam sebesar 96% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Alhasil, anggaran MBG yang dikelola BGN pada tahun depan melampaui kementerian dan lembaga lain.

MBG dan program populis lainnya menguras APBN, menggerus anggaran kementerian/lembaga dan daerah dan memperlebar defisit anggaran.

Mirisnya, dalam RAPBN 2026, pemerintah mengusulkan alokasi dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp650 triliun. Alokasi dana itu turun 24,7% jika dibandingkan dengan dana TKD pada 2025 sebesar Rp864,1 triliun.

Selanjutnya, mudah ditebak. Pemerintah membuat jurus penambahan utang sebesar Rp781,87 triliun pada 2026. Meskipun pemerintah menyatakan rasio utang terkendali terhadap PDB Indonesia, 39,96%, hal itu akan membuat pemerintah kelimpungan membayar utang luar negeri yang kian menggunung.

Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia pada April 2025 sebesar US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.033,45 triliun. Jumlah itu naik 8,2% secara tahunan, lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode Maret 2025 yang naik 6,4% secara tahunan.

Terkait dengan berkurangnya dana TKD yang terdiri atas dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) secara signifikan akan berdampak pada pembangunan di daerah.

Kepala daerah tentu tidak ingin kewalahan menghadapi dampak buruk pengurangan TKD, seperti pembangunan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan.

Mereka akan meningkatkan pajak bumi dan bangunan (PBB) secara 'gelap mata', seperti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang mematok penaikan 250%.

Menjelang setahun pemerintahan pada 20 Oktober mendatang, Prabowo memiliki waktu untuk melakukan evaluasi kinerja kabinet selain reshuffle kabinet jilid 2. Jangan ragu tendang para pembantunya yang tidak memiliki terobosan, apalagi cuma bikin gaduh, dari kabinet.

Di atas semua itu, sangat penting bagi menteri memegang etika jabatan, seperti yang tertuang dalam sumpah jabatan untuk empat menteri dan seorang wakil menteri yang dilantik kemarin.

Etika bagi pejabat publik akan menjadi dasar perilaku dan pengambilan kebijakan. Dengan etika yang kuat, sense of ethics, pejabat publik akan memiliki integritas, mengetahui kepatutan dan kepantasan, rasa malu, sekaligus mempunyai sense of crisis.

Pejabat publik yang memiliki sense of ethics dan sense of crisis tidak akan membuat kebijakan yang barbar, seperti tunjangan DPR dan DPRD yang di luar 'nurul' dan mengiris-iris hati rakyat yang hidupnya banyak dirundung masalah. Juga tidak akan ada menteri yang main domino dengan mantan tersangka pembalak liar.

Selain kebijakan publik, dengan etika yang kuat, tak ada lagi penyelenggara negara baik eksekutif dan legislatif yang bicaranya 'asal jeplak' yang menyinggung perasaan rakyat. Sense of ethics dan sense of crisis akan memagari pejabat publik dari abuse of power, pesta pora praktik rasuah.

Namun, semua itu terpulang kepada Prabowo-Gibran, sejauh mana mereka menjadi pemimpin teladan, memberikan legacy yang besar bagi bangsa dan negara, dengan sense of ethics dan sense of crisis yang kukuh. Rakyat butuh contoh, aksi, bukan omon-omon. Tabik!

(Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)