Memasyarakatkan Polugri, Mimpi yang Ingin Diraih FPCI dan Dino Patti Djalal

Founder Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal. Foto: Metrotvnews.com/Muhammad Reyhansyah

Memasyarakatkan Polugri, Mimpi yang Ingin Diraih FPCI dan Dino Patti Djalal

Marcheilla Ariesta • 29 November 2024 20:23

Jakarta: Sebagai komunitas pecinta politik luar negeri, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) telah berdiri selama 10 tahun. Menggaet anak-anak muda, FPCI mengambil pendekatan yang berbeda dan lebih menarik dari pada organisasi serupa lainnya.

Dino Patti Djalal, pendiri FPCI merupakan mantan wakil menteri luar negeri di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia melihat kebijakan luar negeri harusnya tak hanya diketahui oleh elite, tapi juga masyarakat akar rumput.

Bagaimana FPCI berperan dan melihat kebijakan politik luar negeri Indonesia selama 10 tahun ini? Berikut bincang-bincang Metrotvnews.com dengan Dino Patti Djalal.

Setelah purna tugas sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, Bapak mendirikan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Bisa dijelaskan, apa tujuan yang ingin dicapai pada saat itu, dan tantangan apa saja yang dihadapi?

Intinya saya waktu itu merasa kalau politik luar negeri itu agak elitis, dalam arti hanya pakar yang paham benar mengenai dinamikanya dan lain sebagainya, masih karangan elit politik atau orang yang pakar-pakar yang tahu mengenai itu. Padahal saya melihat kayaknya potensinya besar sekali untuk mengikut sertakan masyarakat,publik dan pemuda, mahasiswa dan lain sebagainya. 

Jadi itu yang saya lakukan yaitu mencoba memasyarakatkan politik luar negeri melalui FPCI, tapi juga secara lebih khusus menyebarkan semangat internasionalisme di tanah air. Karena dalam bacaan kita, nasionalisme sudah keren, sudah banyak dianut orang-orang, tapi internasionalisme masih kurang dan masih belum dipahami oleh sebagian besar rakyat kita. Padahal internasionalisme itulah adalah kunci sukses suatu bangsa kalau menurut saya.

Apa  tantangannya untuk membuat FPCI ini dalam memperkenalkan kebijakan luar negeri Indonesia? 

Kalau tantangan mengenai politik luar negeri itu saya rasakan di mana-mana, di Amerika misalnya. Kalau ada konferensi mengenai politik luar negeri, sedikit sekali yang datang. Mungkin puluhan atau ratusan gitu bahkan di Washington DC juga, di Tiongkok juga begitu ya, di India juga begitu dan sebagainya.

Jadi, di Indonesia tantangannya adalah bagaimana membuat publik itu menggandrungi politik luar negeri. Ya tantangannya itu adalah bagaimana bisa bersaing dengan isu-isu lain ya dan bagaimana bisa membuat anak muda itu melihat foreign policy itu sebagai hal yang keren dan inspiratif. Dan agak susah dengan cara-cara lama, karena cara-cara lama itu menggunakan jargon-jargon yang teknokratis, bahasa diplomatik yang tinggi gitu dan anak muda sulit untuk menyerap hal itu.

Tapi kita akhirnya berubah menggunakan jargon-jargon yang lebih friendly di telinga dan ini membuat, dan kita pakai celebrity juga dan lain sebagainya sehingga anak muda lihat wah ini menarik ya foreign policy. Bukan hanya menarik tapi bahkan inspiratif juga.

Apa saja capaian dari FPCI selama 10 tahun ini? 

Wah cukup banyak. Pertama kita dari satu gubuk kecil ya. Kalau kita beratkan di desa, duduk gubuk kecil, nah gubuk kecil itu adalah FPCI ya. Bahkan hanya berapa orang anggotanya waktu itu. Tapi sekarang telah menjadi ormas hubungan internasional terbesar di Indonesia, dan di Asia Tenggara, bahkan di Asia Pasifik.

Bahkan guru besar hubungan internasional Amitav Acharya. Kalau orang HI pasti tahu ya. Dia bilang ini (FPCI) memiliki konferensi terbesar di dunia gitu ya.

Nah, jadi itu menurut saya salah satu capaian yang terbesar. Kita juga menyelenggarakan apa yang dinamakan online Global Town Hall, yaitu suatu perdebatan utara selatan, timur barat yang diikuti oleh sekitar 28.000 peserta dari 150 negara.

Ormas-ormasnya, kampusnya ikut untuk membahas berbagai masalah dunia. Ini satu-satunya inisiatif yang dilakukan oleh kebudayaan Indonesia. Kita juga menyelenggarakan Net Zero Summit, yaitu forum perubahan iklim yang juga terbesar di Indonesia.

Bahkan orang bilang juga di Asia Tenggara. Jadi hal-hal seperti ini yang kita lakukan, tapi kita juga memajukan agenda-agenda yang menurut kita penting untuk dilakukan oleh pemerintah dan juga masyarakat. 

Dalam FPCI dikemukakan mengenai citizen diplomacy. Apa itu? Dan sudah sejauh mana implementasinya di FPCI?

Kalau menurut saya, citizen diplomacy itu adalah kita tahu kalau diplomasi itu yang menjalankan presiden, menteri-menteri, diplomat, menteri besar dan lain sebagainya. Jadi ada pelakunya. Nah kalau ini pelakunya adalah rakyat biasa seperti kami, tapi peduli dengan masyarakat internasional.

Jadi kami memberikan ide kepada pemerintah, kami melakukan event, kami melakukan advokasi terhadap masyarakat, melakukan outreach terhadap citizen dan grup di negara lain dan lain sebagainya. Jadi itu adalah citizen diplomacy yaitu bottom-up. Kalau diplomasi kadang-kadang top-bottom ya, top-down.

Jadi, menurut saya kami termasuk yang paling aktif untuk melakukan citizen diplomacy ini. Karena memang itu adalah DNA FPCI dari awal. 

Apa yang membedakan FPCI dari lembaga-lembaga foreign policy lainnya?

Yang paling gampang sih kalau bisa dilihat dari konferensi kita jelas. Jadi ada orang namanya Profesor Gordon Flake, kita undang ke acara kita. Dia pikir hanya datang ke acara biasa, tapi ternyata dia lihat wah ini ribuan orang dari pagi jam 08.00 mengantre. Seperti mau nonton rock concert. Jadi dia bilang ini satu-satunya, di dunia bahkan, suatu konferensi yang antara rock concert dan seminar gitu.

Dan dia juga terpana, ternyata orang datang bukan hanya untuk sejam, tapi seharian penuh mereka tinggal disana gitu. Keunikan kami disitu. Kami bisa benar-benar mempunyai daya tarik di kalangan akar rumput dan membuat foreign policy itu jadi very attractive, jadi keren gitu.

Jadi selama 10 tahun ini, bagaimana FPCI dan Anda sendiri secara pribadi melihat politik luar negeri Indonesia? 

Dalam 10 tahun itu di masa Presiden Jokowi ada 2 babak. Babak pertama, 5 tahun pertama itu tidak begitu menggeliat ya. Karena beliau (Jokowi) kan tidak tertarik masalah luar negeri. Lebih dikasih ke (mantan Menlu) Retno. Jadi tidak banyak action untuk term yang pertama. 

Baru term kedua lebih aktif terutama ketika kita (Indonesia) menjadi ketua G20. Di sana memang menurut saya prestasi terbesar Presiden Jokowi, legasi terbesarnya adalah dalam menjaga keutuhan G20 pada saat mau ambruk G20 itu. Kemudian ada KTT ASEAN, bagus juga kita menunjukkan leadership tapi yang paling penting menurut saya yang G20. 

Sekarang sudah ada lembaran baru Presiden Prabowo itu semua orang meyakinkan bahwa ini akan menjadi Presiden politik luar negeri yang sangat aktif. Karena beliau senang masalah hubungan internasional dan beliau juga bisa berbagi bahasa dan senang bergaul. Dan senang juga mempunyai suatu peran internasional. 

Sekarang yang kita tunggu tentu adalah apa strateginya, apa konsep yang akan diusung oleh Prabowo. Dan juga ini sekitar 40 hari sejak inaugurasi kita masih belum mendengar statement dari Menlu (Sugiono). Apa pandangan beliau terhadap hubungan internasional Indonesia, 40 hari agak terlalu lama.

Beliau perlu sesegera mungkin untuk menjelaskan, memberi penjelasan mengenai langkah-langkah politik luar negeri. Karena udah banyak nih kejadian, Laut China Selatan kemarin itu kan jadi banyak kontroversi di tanah air. Waktu rumah sakit Indonesia di Lebanon kena bom. Kemudian kenapa masuk BRICS dan lain sebagainya. Mungkin ada satu simpul masalah yang perlu penjelasan. Tidak bisa dikasih ke jubir, tak bisa dikasih ke Wamen. Harus beliau yang tampil di depan dan menjelaskan kepada publik.

Beliau juga, saya perlu, beliau perlu meyakini bahwa foreign policy begins at home. Itu yang paling penting. Saya 28 tahun nih di Kementerian Luar Negeri jadi diplomat. Yang paling penting itu diajarin oleh almarhum Menlu Ali Alatas. Foreign policy begins at home, dengan kata lain, kita sehebat mungkin luar.

Tapi kalau kita tidak bisa menjelaskan, meyakinkan stakeholder di Tanah Air, foreign policy itu akan kropos. Makanya beliau harus menjelaskan kepada kami ya, FPCI dan segala macem. Apa pemikiran beliau, apa kira-kira menurut beliau tantangan politik luar negeri Indonesia dan segala macem. Jadi kalau luar negeri, kita bukan hanya nyorakin, tapi kita mendukung langkah ini. Pak Sugiono harus komunikatif dan transparan dan engage us karena kita ingin mendukung politik luar negeri Indonesia.

Belum sebulan ini menjabat sebagai Presiden, Pak Prabowo sudah melakukan berbagai kunjungan ke luar negeri. Kita melihatnya juga satu hal cepat dilakukan. Bagaimana Anda melihat kunjungan-kunjungan tersebut dan hasil-hasilnya juga ada yang mencengangkan? 


Menurut saya yang paling, ini kan langkah pertama nih sejak jadi Presiden ya. Jadi sinyal yang paling utama adalah, I'm here dan saya sudah siap jadi pemain. Waktu jaman Presiden Jokowi dulu sinyal berbeda, beliau tampil walaupun datang tapi tidak tampil. Ini beliau sudah tampil dan memberikan pidato yang juga bagus dan lain sebagainya gitu kan.

Jadi saya kira a good start ya. Sekarang ini yang perlu adalah gini. Nanti jangan sampai hanyut dalam apa yang dinamakan ya, diplomasi merry-go-round. Ini secara global ya, pemimpin-pemimpin yang masuk kemudian mereka tau-tau ada rutinitas yang luar biasa. Harus hadir ke ASEAN, harus hadir ke G20, harus hadir ke APEC, harus hadir ke MIKTA, harus hadir ke Sidang Majelis Umum PBB, dan berbagai ininya. Jadi bisa ada sebulan, dua bulan dari setahun itu untuk urusan yang rutin.

Nah, pemimpin lain itu banyak yang hanyut. Ya hanyut kenapa? Jadi tidak bisa dari sini ke sana dan kalau tidak ada konsep, parah. Wasting time, ya kan? Makanya dari awal beliau harus punya suatu konsep, suatu strategi. Wah, saya maunya ambil ini sehingga kemanapun yang saya perjuangkan ini, gitu. Dan coalition building saya adalah untuk mencapai ini. Nah, ininya tuh apa? Nah, itu yang menurut saya dalam 3-6 bulan ke depan harus dirumuskan.

Kunjungan pertama kan ke Tiongkok, apakah ada pesan tersendiri? 

Saya kira ini juga terlihat sewaktu beliau jadi Menhan, ya. Karena beliau 5 tahun menjadi Menteri Pertahanan itu, beliau mengambil kesimpulan bahwa mitra utama yang sangat penting, mungkin paling penting bagi Indonesia adalah Tiongkok. Karena berbagai hal, ya.

Dan ini juga dicerminkan waktu beliau terpilih, diumumkan terpilih menang pemilu negara pertama yang dikunjungi adalah Tiongkok. Dan setelah menjadi presiden, negara pertama juga adalah Tiongkok. Jadi ini sebagai diplomat ini jelas sinyal, Sinyal kepada Tiongkok. Dan mungkin juga kepada dunia bahwa Indonesia dan Tiongkok itu ada hubungan yang kuat. Dan terutama Pak Prabowo itu memandang ada suatu kesusahan tertentu mengenai Tiongkok.

Mungkin yang perlu diperjelas adalah mengenai joint statement yang banyak disorot di tanah air.Karena orang nanya ini apakah ada pergeseran posisi atau enggak. Nah ini harus dijelaskan sekali lagi oleh Menteri Luar Negeri. Ini apa yang terjadi dan apa maksudnya? Dan apakah benar ada pergeseran posisi pemerintah? Karena apa? Selama ini posisi kita sangat tegas. Tidak ada tumpang tindih klaim Indonesia dan Tiongkok.

Tidak ada. Sekarang gimana? Kalau memang ada, jelaskan di mana? Dan apa alasannya kita mengakui klaim itu? Alhamdulillah kemarin kan Kemlu mengeluarkan statement bahwa kita tidak mengakui nine dash line (sembilan garis putus) dari Tiongkok. Kalau memang itu berarti kita juga harus explicit, bukan implicit, explicit juga menyatakan tidak ada tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Tiongkok. Kenapa? Ini masalah yang sangat strategis. Ini masalah kedaulatan, kewilayahan. Kita tentu tidak bisa main-main dengan urusan yang sangat sakral ini. Dan kita harus tegas membela kepentingan nasional Indonesia di sini. 

Dan negara kedua kemudian Amerika Serikat. Apakah itu seperti menomorduakan US? 

Kalau sebenarnya dari segi logistik memang lebih gampang ke Tiongkok dulu baru ke Amerika. Ketimbang ke Amerika dulu baru ke Tiongkok. Dan memang menarik ada joint statement yang panjang dan komprehensif. Dan saya juga baca bagus. The question is adalah apakah joint statement ini akan diadopsi oleh pemerintah Trump. Ya kan? Menurut saya kemungkinan besar iya gitu ya.

Karena itu juga banyak kepentingan Amerika yang ada di sana. Tapi kita lihat aja bagaimana kedepannya. Tapi yang jelas kita harus menjaga hubungan baik dengan Beijing dan juga dengan Washington DC.

Menteri Luar Negeri Sugiono juga pergi ke BRICS di Kazan saat itu. Dan menyatakan keinginan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Apa pandangan Anda kita gabung dengan BRICS ini? 

Pertama seperti yang saya katakan tadi, mohon dijelaskan. Ini kan akah yang strategis ya kan. Jadi kalau kita lihat peta dunia itu ada G7. G7 ini yang paling berpengaruh. Baik secara politik maupun ekonomi. Dan G7 ini adalah suatu forum geopolitik ya kan.Nah kemudian ada banyak forum-forum lain. Ada ASEAN dan lain sebagainya. Tapi juga ada BRICS. BRICS ini menarik perhatian kenapa? Karena ada Tiongkok dan Rusia. Dan kemudian ada India juga dan lain sebagainya. Nah dan mulai banyak orang yang mau masuk ke sana gitu. Yang negara yang mau masuk ini punya alasan sendiri-sendiri. Nah Indonesia perlu menjelaskan alasan masuk BRICS apa.

Sampai sekarang belum dijelaskan. Makanya saya selalu bilang ayo komunikasikan dengan rakyat kita sendiri. Dan jelaskan 1,2,3 nya apa tuh. Menurut saya baik ya kenapa? Sepanjang ini tidak merupakan pergeseran kebijakan. Jadi dari ‘wah ini berarti kita berpihak sana dan kita menjadi anti ini atau apa gitu’. Selama ini merupakan bukan pergeseran. Strategi Indonesia tapi penambahan lahan. Jadi kita kan ada lahan di ASEAN, ada lahan di APEC, di MIKTA. Nah ini nambah satu lagi lahan kebijakan. Selama itu baik menurut saya ya, apalagi kita juga mau masuk OECD. Dan itu prosesnya juga lebih maju.

Cuma tolong dijelaskan kenapa alasannya gitu.Untuk rakyat dan untuk sejarah juga. Nanti kita gak nebak-nebak gitu. Orang jika masuk ASEAN saja jelas banget kok. Dulu belum ada social media kan.

Kembali lagi ke FPCI, Setelah 10 tahun berlalu, dalam 10 tahun ke depan Anda melihat FPCI ini akan seperti apa? 

Kita mau lebih banyak di kawasan. Jadi grow further; lebih jauh, and bigger. Lebih banyak kampus-kampus yang ormas-ormas yang gabung dengan kita. Atau bekerja sama dengan kita. Dan juga deeper. Lebih banyak isu-isu yang menjadi perhatian kita.

Ini tidak akan ada habis-habisnya nih. Kalau masalah going deeper gitu ya misalnya. Kita sudah punya suatu program dengan 100 universitas di Asia Tenggara. Dan satu-satunya yang bisa melakukan itu nih di kawasannya. Tapi ada ribuan kampus di Asia Tenggara. 

Jadi tidak akan selesai tugas-tugas ini gitu ya. Dan kita juga ingin antara, kan ASEAN udah ada. People centered ASEAN. ASEAN berbasis pada masyarakat. Tapi masih sangat lemah denyut nadinya. Exchanges itu masih, pertukaran itu masih sangat minim. Dan lain sebagainya. Kita ingin agar FPCI menjadi pelopor untuk memajukan hubungan antara masyarakat di ASEAN. 

Apa pesan khusus dan harapan di ulang tahun FPCI yang ke-10?

Pesan khusus agar Pak Prabowo, Menlu Sugiono, dan seluruh kabinet memandang kita sebagai mitra. Kita adalah saudaramu, ya kan.

Yang sama-sama ingin Indonesia itu sukses. Jadi kita harap bisa kerjasama dengan baik. Dan kedua juga, saya lihat yang anak-anak yang datang dari Papua jauh-jauh. Dari mana, yang tadi naik kapal 2 hari 2 malam sih. Kita buat FPCI untuk mereka-mereka ini memang. Dan banyak, dalam 10 tahun ini banyak lho ada orang yang bilang, Pak Dino saya datang acara Bapak, kemudian saya jadi terinspirasi jadi pemimpin.

Termasuk Emil Dardak (Wakil Gubernur Surabaya) silahkan tanya tuh. Dia pernah bilang, Pak saya datang acara Bapak, saya jadi terinspirasi. Dan cukup banyak orang-orang yang dalam posisi itu.

Jadi kita berharap lebih banyak pemimpin anak muda yang idealis, yang berprestasi, yang internasionalis, yang akan tampil ke depan. Karena saya melihat 10 tahun ke depan aja tuh, ini dunia akan sangat-sangat goyah. Sangat goyah. Perang yang dua ini (Ukraina dan Gaza) belum ada tanda akan berakhir. Mungkin akan ada perang. Di Afrika udah ada perang, di Sudan masih semakin membara. Mungkin akan ada di tempat lain intoleransi akan naik.

Sekarang mistrust semakin meninggi. Dialog semakin mengecil dan lain sebagainya. Jadi kita butuh benar-benar stagemen ke depan. Terutama yang datang dari politisi-politisi muda dan pemikir muda.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)