Ilustrasi kerja sama perdagangan. Foto: dok Latis Privat.
M Ilham Ramadhan Avisena • 14 July 2025 13:24
Jakarta: Percepatan penandatanganan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) disambut positif. Keberhasilan tersebut tidak hanya bergantung pada penghapusan tarif, melainkan juga pada bagaimana Indonesia mengantisipasi hambatan non-tarif yang kompleks dan ketat di pasar Eropa.
"Saya melihat kondisi ini sebagai sinyal positif, namun tetap perlu dibaca secara hati-hati dan strategis," kata peneliti dari Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet saat dihubungi, dikutip Senin, 14 Juli 2025.
Menurutnya, Uni Eropa adalah mitra dagang yang sangat potensial, tidak hanya karena daya beli konsumennya yang tinggi, tetapi juga karena orientasi industrinya yang sangat kuat terhadap produk-produk berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi.
Namun demikian, ia mengingatkan pasar Uni Eropa sangat regulatif. Meskipun IEU-CEPA akan memungkinkan banyak produk Indonesia masuk bebas tarif, hambatan non-tarif seperti standar lingkungan, keamanan pangan, dan keberlanjutan rantai pasok tetap menjadi tantangan besar.
"Banyak produk ekspor Indonesia, meskipun dari sisi tarif nantinya bisa bebas masuk, masih akan berhadapan dengan tantangan besar dalam bentuk Non-Tariff Measures (NTM)," kata Yusuf.
Untuk itu, Yusuf mendorong agar dalam implementasi IEU-CEPA ke depan, Pemerintah Indonesia memperjuangkan terbentuknya forum penyelesaian sengketa teknis atau mekanisme harmonisasi regulasi. Menurutnya, tanpa langkah tersebut, pembebasan tarif hanya akan menjadi simbolis, dan hambatan struktural tetap menyulitkan eksportir nasional.
"Harapannya, dengan disepakatinya IEU-CEPA, kita bisa mendorong terciptanya mekanisme harmonisasi regulasi atau minimal pembentukan forum penyelesaian sengketa teknis yang bisa meminimalisir efek pembatasan non-tarif ini," tambahnya.
Kedekatan dengan BRICS
Di sisi lain, Yusuf juga menyoroti langkah strategis Indonesia dalam menjalin kedekatan dengan BRICS. Ia menilai keikutsertaan Indonesia dalam forum BRICS memiliki potensi sebagai jalur diversifikasi mitra ekonomi, terutama di tengah ketidakpastian global.
"Masuknya Indonesia dalam orbit kerja sama BRICS terutama dengan Tiongkok dan Rusia sebagai anggotanya bisa dimaknai sebagai upaya diversifikasi mitra ekonomi dan mencari alternatif pembiayaan serta pasar baru," ujar dia.
Namun, ia mengingatkan pendekatan tersebut tidak tanpa risiko. Kedekatan simbolik Indonesia terhadap BRICS dapat terbaca sebagai sinyal geopolitik yang dapat mempengaruhi hubungan dagang dengan mitra Barat seperti Amerika Serikat (AS) atau Uni Eropa.
"Dalam konteks negosiasi dengan Amerika Serikat, atau bahkan mitra Barat lainnya, kedekatan simbolik terhadap
BRICS dapat dilihat sebagai sinyal geopolitik," ungkap Yusuf.
Menurut dia, pemerintah harus secara aktif menegaskan keikutsertaan Indonesia dalam BRICS bersifat pragmatis dan ekonomi, bukan ideologis. Ini penting agar Indonesia tidak kehilangan akses ke sumber daya penting dari negara Barat, seperti pendanaan hijau dan teknologi bersih.
Indonesia, kata Yusuf, harus terus menegaskan partisipasi di BRICS bersifat ekonomi dan pragmatis, bukan ideologis. Jangan sampai langkah ini justru menghambat akses terhadap sumber daya Barat seperti pendanaan hijau, teknologi bersih, atau pengakuan terhadap standar produk di pasar premium.
(Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Foto: X/Prabowo Subianto)
Perlu kehati-hatian kelola persepsi geopolitik
Lebih lanjut, Yusuf menilai keanggotaan Indonesia di BRICS bisa saja diperhitungkan oleh AS dalam menentukan kebijakan tarif terhadap Indonesia. Karena itu, kehati-hatian dalam mengelola persepsi geopolitik sangat penting agar tidak disalahartikan sebagai keberpihakan pada satu blok tertentu.
"Memang ada peluang kemudian keanggotaan Indonesia dalam organisasi tersebut akan masuk ke dalam faktor konsiderasi pemerintahan Amerika Serikat apakah akan tetap mengenakan tarif tinggi ke Indonesia atau tidak," ujar dia.
Indonesia, menurut Yusuf, masih memiliki daya tawar terhadap AS, antara lain dari sisi akses pasar domestik yang besar dan posisi surplus AS dalam neraca perdagangan jasa dengan Indonesia. Karenanya, ia berharap pemerintah bisa memainkan strategi dagang dan diplomasi ekonomi secara cermat demi menjaga kepentingan nasional jangka panjang.