Ilustrasi. MI/Ramdani.
Despian Nurhidayat • 15 March 2025 22:17
Jakarta: Pendiri Institut Perempuan dan Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Valentina Sagala mengatakan perayaan Hari perempuan Internasional jadi momentum menyatukan pengalaman dalam memperjuangkan keadilan. Selain itu, momentum memperjuangkan kemerdekaan, melawan penindasan, dan ketidakadilan bagi perempuan.
"Gerakan perempuan adalah kelompok penting yang akan mewarnai perjuangan dan peradaban dunia. Kelompok perempuan juga kerap mengalami penderitaan," ujar Valentina dalam diskusi bertajuk Menagih Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara untuk Pemenuhan Hak Perempuan, Sabtu, 15 Maret 2025.
Ia menilai cita-cita tujuan bernegara semakin jauh dari pengalaman keseharian perempuan. Perlindungan, kesejahteraan, penegakan HAM dinilai semakin jauh dirasakan perempuan.
Menurut dia, sudah semestinya lembaga penyelenggara negara memastikan hak perempuan untuk terpenuhi. Mandat ini seharusnya dijalankan dan ternyata malah menimbulkan kegelisahan dari perempuan.
"Hal ini juga telah memperlihatkan negara semakin jauh dalam bertanggung jawab untuk memenuhi hak asasi perempuan secara keseluruhan," ujar Valentina.
Sosialisasi UU TPKS masih minim
Direktur Flower Aceh Riswati menekankan budaya patriarki masih terjadi di Aceh dan stigma sosial. Hal ini telah memengaruhi kurangnya partisipasi masyarakat untuk mencegah kasus kekerasan seksual.
Selain itu, sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga masih belum kuat. Banyak yang mengkhawatirkan ini mengganggu syariat islam.
"Padahal ini melindungi perempuan. Implementasi di lapangan juga jadi tantangan," tegas Riswati.
Ilustrasi. Foto: MI/Ramdani
Direktur Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Irene Natalia Lambung menambahkan situasi perempuan adat di Kalimantan Tengah juga masih banyak mengalami persoalan ketidakadilan sampai saat ini. Perempuan adat banyak tersingkir dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ini terjadi lantaran aturan tidak memberikan keberpihakan dalam ruang pengelolaan pangan. Padahal, kata dia, perempuan adat merupakan yang paling memahami pengelolaan pangan.
"Tetapi aturan adat malah menyingkirkan dalam pengetahuan dan inisiatifnya. Kami mendorong perempuan adat dilibatkan dalam pemanfaatan pangan ini," ujar Irene.
Masih terjadi ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan
Sementara itu, Wakil Forum Pengada Layanan di Pulau Jawa, Novita Sari mengatakan sepanjang 2023, tercatat terjadi 5.812 kasus kekerasan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 56 persen kasus terjadi di Pulau Jawa.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Rina Prasarani menegaskan perempuan disabilitas banyak mengalami hal-hal yang tidak semestinya di lapangan. Selama ini, perempuan disabilitas sering kali terbentur masalah aksesibilitas dan stigma di masyarakat.
"Banyak juga ruang pemeriksaan yang tidak terpisah dari pelaporan lainnya sehingga membuat ketidaknyamanan disabilitas. Pendamping perempuan disabilitas juga belum mendapat tempat di masyarakat dan aparat penegak hukum sehingga sering ditanyakan validasinya," ujar Rina.