Riza Aslam Khaeron • 29 January 2025 11:18
Washington D.C.: Hamas tengah mencari peluang untuk membentuk pemerintahan gabungan sebagai bagian dari proses politik pasca-gencatan senjata. Langkah ini diiringi dengan diplomasi intensif, termasuk pertemuan delegasi Hamas dengan Kepala Intelijen Mesir, Hassan Rashad, di Kairo pada 28 Januari 2025. Berdasarkan laporan dari laman resmi Hamas, pertemuan ini membahas berbagai skenario politik, termasuk kemungkinan pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina.
Dalam pertemuan tersebut, delegasi Hamas yang dipimpin oleh Mohammad Darwish menyampaikan apresiasi terhadap peran Mesir dalam mediasi gencatan senjata dan pertukaran tahanan. Hamas juga menekankan bahwa pihaknya mendukung solusi yang "mampu menyatukan rakyat Palestina" dan menghindari langkah-langkah yang dapat memperburuk fragmentasi politik di wilayah tersebut. Delegasi Hamas juga membahas mekanisme rekonstruksi Gaza serta peran internasional dalam membantu pembangunan kembali wilayah yang hancur akibat konflik.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, menegaskan sikap Washington yang menolak keterlibatan Hamas dalam pemerintahan Gaza. Dalam percakapan dengan Menlu Mesir Badr Abdelatty pada 28 Januari 2025, Rubio menyatakan bahwa AS akan terus berkoordinasi dengan Mesir untuk memastikan Hamas tidak mendapatkan legitimasi politik pasca-konflik.
“Hamas tidak boleh kembali berkuasa di Gaza atau memiliki peran dalam pemerintahan Palestina ke depan,” ujar Rubio, seperti dilansir dari laman resmi Secretary of State.
Rubio juga mengapresiasi upaya Mesir dalam menjaga stabilitas kawasan serta peran aktifnya dalam pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun, ia memperingatkan bahwa segala upaya rekonstruksi harus dilakukan tanpa melibatkan Hamas sebagai entitas politik yang sah. Menurutnya, AS akan bekerja sama dengan mitra-mitra regional untuk membangun pemerintahan baru yang dapat memastikan stabilitas jangka panjang tanpa keterlibatan Hamas.
Sebelumnya, Hamas telah menerima proposal Mesir untuk membentuk komite bersama Palestina dalam mengelola Gaza setelah perang berakhir. Dalam pernyataan yang dirilis pada 6 Desember 2024, Hamas menyatakan bahwa pihaknya telah mengadakan pembicaraan mendalam dengan Fatah di Kairo guna membentuk komite yang akan menjalankan Gaza berdasarkan kerangka kerja yang telah disepakati sebelumnya untuk mencapai persatuan Palestina.
"Hamas menyampaikan persetujuannya terhadap proposal Mesir dalam membentuk komite dukungan komunitas yang akan beroperasi melalui mekanisme nasional yang inklusif," demikian pernyataan resmi Hamas seperti dilaporkan TRT Afrika.
Peran Mesir dalam negosiasi ini menjadi semakin signifikan, dengan Kairo berupaya menjembatani perbedaan antara faksi-faksi Palestina serta mengelola stabilitas pascaperang. Sejak 2007, perpecahan politik antara Hamas dan Fatah telah menciptakan dualisme pemerintahan di Palestina, di mana Hamas mengendalikan Gaza, sementara Otoritas Palestina, yang dipimpin Fatah, memerintah di sebagian wilayah Tepi Barat.
Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani, dalam pernyataannya pada 21 Januari 2025 di Forum Ekonomi Dunia di Davos, menyatakan bahwa ia berharap Otoritas Palestina (PA) dapat kembali berperan dalam pemerintahan Gaza setelah perang berakhir.
“Kami berharap melihat PA kembali ke Gaza. Kami berharap melihat pemerintahan yang benar-benar menangani permasalahan rakyat di sana,” ujar Sheikh Mohammed seperti dilansir Al Jazeera. Ia juga menambahkan bahwa Palestina sendiri yang harus menentukan masa depan Gaza, bukan negara lain.
Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, juga menegaskan kesiapan PA untuk mengambil alih penuh pemerintahan Gaza setelah kesepakatan gencatan senjata. Dalam pernyataannya pada 18 Januari 2025, Abbas menyatakan bahwa pemerintahannya telah menyusun rencana dan siap untuk memulihkan layanan dasar, mengelola perbatasan, serta merekonstruksi Gaza.
“Pemerintah Palestina, di bawah arahan saya, telah menyelesaikan semua persiapan untuk mengambil alih tanggung jawab penuh di Gaza,” demikian pernyataan yang dikutip oleh Al Jazeera.
Palestina juga meminta dukungan internasional dalam proses ini. Perdana Menteri Palestina, Mohammad Mustafa, pada 17 Januari 2025, menyampaikan kepada Uni Eropa di Brussels bahwa PA memiliki strategi 100 hari untuk mengelola Gaza setelah perang, termasuk koordinasi bantuan dan pengelolaan perbatasan Rafah.
Hingga saat ini, belum ada keputusan final mengenai siapa yang akan mengelola Gaza setelah perang berakhir. Kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan AS tidak secara spesifik membahas struktur pemerintahan pasca-konflik, tetapi mencakup pertukaran tahanan serta peningkatan bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.
Pembicaraan mengenai masa depan pemerintahan Gaza masih berlangsung di berbagai forum diplomatik internasional, dengan beberapa negara seperti Qatar dan Mesir yang mendorong solusi yang dapat mengakomodasi berbagai pihak, sementara AS dan Israel menolak keterlibatan Hamas dalam struktur pemerintahan mendatang.
Baca Juga:
5 Fakta Donald Trump Terus 'Ngeyel' Pindahkan Warga Palestina dari Gaza