Prosesi jejak banon. Dokumentasi/ Humas Pemerintah DIY
Ahmad Mustaqim • 5 September 2025 10:59
Yogyakarta: Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X menjalani prosesi 'Jejak Banon' di sisi selatan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Kamis malam, 4 September 2025. Jejak banon bermakna menjejak (menendang) tumpukan bata yang melekat pada benteng.
Salah satu tradisi di lingkungan Kraton Yogyakarta itu merupakan prosesi dalam rangkaian Hajad Dalem Sekaten Tahun Dal 1959 memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi jejak banon digelar setiap delapan tahun sekali atau bertepatan dengan Tahun "Dal" dalam siklus penanggalan Jawa.
"Ini hanya diadakan hanya pada saat Tahun 'Dal' saja," jelas Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959 Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kusumanegara.
Kusumanegara mengungkapkan tradisi tersebut mengacu pada sejarah di lingkungan Kraton Yogyakarta. Secara garis besar, jejak banon ditujukan mengenang usaha penyelamatan diri dari musuh yang dilakukan Pangeran Mangkubumi, pendiri Keraton Yogyakarta usai salat Jumat di Masjid Gedhe. Menurutnya, jejak banon juga bermakna mendobrak tatanan lama terkait urusan keagamaan.
"Ini (bermakna) membuka cakrawala baru bagi orang Jawa terhadap agama (Islam) yang baru masuk di tanah Jawa ini," ungkap Kusumanegara.
Sri Sultan HB X mengenakan surjan biru bermotif bunga saat menjalani prosesi itu. Sri Sultan lebih dulu menyebarkan 'udhik-udhik' berupa beras, biji-bijian, bunga, dan uang logam yang melambangkan simbol sedekah raja kepada masyarakat serta abdi dalem. Udhik-udhik tersebut disebarkan di sisi utara, selatan halaman Masjid Gedhe, dan di dalam masjid.
Ratusan warga menyaksikan prosesi jejak banon tersebut. Saat melakukan jejak banon, Sultan merobohkan tumpukan batu bata menggunakan kekuatan dorongan tangan. Setelah tumpukan batu bata roboh, Sultan melangkanginya dan keluar menuju Kraton.
Warga Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yudha mengaku sengaja meluangkan waktu melihat prosesi itu. Lelaki 35 tahun itu mengatakan tak ingin melewatkan proses langkah yang hanya terjadi sewindu sekali tersebut.
"Tentu saya sebagai orang Jawa pingin nguri-uri (menjaga dan melestarikan) budaya Jawa di tengah arus modernisasi. Dalam kultur Jawa, kan ada banyak simbolisme yang masih cukup relevan dengan konteks masa kini," ucap Yudha.