Perdana menteri perempuan pertama Jepang, Sanae Takaichi. (Anadolu Agency)
Muhammad Reyhansyah • 21 October 2025 14:35
Tokyo: Di usia 64 tahun, Sanae Takaichi menorehkan sejarah baru di Negeri Sakura. Tokoh konservatif dari Partai Demokrat Liberal (LDP) itu resmi terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang setelah memenangkan pemungutan suara di parlemen pada Selasa, 21 Oktober 2025.
Kemenangan ini menandai momen bersejarah bagi Jepang, negara yang selama puluhan tahun dikenal dengan politik dan budaya kerja yang sangat patriarkal, di mana perempuan jarang menembus posisi puncak kekuasaan.
Awal yang Sederhana
Takaichi lahir pada 7 Maret 1961 di Yamatokoriyama, Prefektur Nara, Takaichi tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya bekerja di pabrik suku cadang mobil, sedangkan ibunya bertugas di kepolisian. Sejak muda, ia dikenal pendiam namun peka terhadap sekitar.
Seorang teman masa kecil, Motoko Shimada, mengenangnya sebagai sosok penyayang yang sering berbagi bekal dengan teman sekelas yang lupa membawa makan siang.
Sebagai mahasiswa di Universitas Kobe, Takaichi menempuh perjalanan enam jam setiap hari naik bus dan kereta dari rumahnya di Nara. Di sela kelelahan itu, ia menyalurkan semangat mudanya lewat musik, penggemar berat Iron Maiden dan Deep Purple dan kecintaannya pada motor Kawasaki.
Dalam memoarnya tahun 1992, ia menulis tentang keinginannya untuk mandiri. “Saya bermimpi memiliki kastil sendiri,” tulisnya.
Namun sang ibu menolak ide anak gadisnya tinggal di asrama sebelum menikah. Tekanan sosial terhadap perempuan muda Jepang saat itu membentuk cara pandangnya terhadap keteguhan dan kemandirian.
Awal Karier Politik
Setelah lulus, Takaichi bekerja sebagai penulis, pembawa acara televisi, dan kemudian mengikuti pelatihan di Matsushita Institute of Government and Management, tempat banyak calon pemimpin Jepang ditempa.
Di akhir 1980-an, ia sempat magang di kantor Patricia Schroeder, anggota Kongres AS yang dikenal sebagai feminis vokal. Di Washington, Takaichi belajar banyak tentang politik dan diplomasi, bahkan mengembangkan kecintaan pada selai kacang khas Amerika.
Sekembalinya ke Jepang, ia memutuskan untuk masuk politik. Pada 1993, dengan dukungan tabungan pensiun ayahnya, ia terpilih ke Dewan Perwakilan Rakyat sebagai kandidat independen dari Nara. Namun di parlemen yang didominasi laki-laki, Takaichi segera merasakan isolasi.
“Sulit bagi perempuan untuk bekerja setelah pukul lima sore,” katanya dalam wawancara dengan Associated Press kala itu, menyinggung budaya politik Jepang yang erat dengan pertemuan informal di bar dan sauna.
Kedekatan dengan Shinzo Abe
Perjalanan politiknya mencapai momentum saat ia menjalin hubungan politik dengan Shinzo Abe, perdana menteri terlama Jepang yang tewas ditembak pada 2022.
Abe melihat dalam diri Takaichi sosok konservatif muda yang disiplin dan tangguh. Keduanya sejalan dalam isu pertahanan dan revisi konstitusi agar Jepang lebih bebas mengembangkan militernya.
Takaichi kemudian masuk kabinet Abe pada 2006, dan kembali menjabat Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi pada periode 2019–2020. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai protege setia Abe, bahkan dijuluki sebagian pengamat sebagai “penerus ideologis” sang pemimpin.
Setelah Abe wafat, Takaichi mengaku sangat terpukul. “Saya belum pernah merasa serendah ini secara fisik dan mental,” tulisnya.
Namun ia berjanji akan melanjutkan perjuangan politik mentornya. “Kalau saya berhenti sekarang, saya harus meminta maaf padanya.”
Kemenangan Bersejarah
Kemenangan Takaichi dalam pemilihan ketua LDP mengakhiri perjalanan panjang yang penuh kegagalan. Ia sebelumnya kalah dalam kontestasi 2021 dan 2024. Tapi kali ini, dukungan dari akar rumput partai dan suara perempuan muda Jepang mengantarkannya pada puncak kekuasaan.
Di tengah sorak kemenangan, Takaichi menegaskan gaya kepemimpinan tanpa kompromi. “Saya akan meninggalkan konsep work-life balance,” ujarnya. “Kita harus bekerja keras tanpa henti demi Jepang dan untuk membangun kembali LDP.”
Meski begitu, tantangannya berat. Koalisi LDP dengan partai moderat Komeito masih rapuh, dan Takaichi harus menavigasi hubungan sulit dengan Amerika Serikat. Ia dijadwalkan bertemu Presiden Donald Trump minggu depan di Tokyo untuk membicarakan aliansi militer dan tarif perdagangan.
Ideologi, Kontroversi, dan Persona Publik
Takaichi dikenal karena pandangan nasionalis dan hawkish. Ia berulang kali mengunjungi Kuil Yasukuni, tempat peringatan bagi korban perang Jepang yang juga menghormati 14 penjahat perang kelas A, langkah yang memicu ketegangan diplomatik dengan China dan Korea Selatan.
Selain isu sejarah, Takaichi juga menyerukan pembatasan terhadap pariwisata berlebihan dan imigrasi, serta menolak pandangan bahwa Jepang harus meminta maaf terus-menerus atas masa lalunya. “Kita harus tahu sejarah dan kebanggaan kita sendiri,” katanya dalam salah satu kampanye.
Namun, di balik citra kerasnya, ada sisi lain yang lebih lembut. Seorang penata rambut lamanya di Nara, Yukitoshi Arai, menceritakan bagaimana gaya rambut pendek khas Takaichi diciptakan agar matanya terlihat jelas. “Ia ingin menunjukkan bahwa ia melihat dan mendengar orang-orang di sekitarnya,” kata Arai. “Dia bukan ‘Iron Lady’. Dia lebih seperti perempuan Kansai hangat, humoris, tapi tangguh.”
Simbol Baru Politik Jepang
Kemenangan Sanae Takaichi melampaui politik. Ia bukan hanya pemimpin konservatif, tapi juga simbol perubahan dalam sistem yang lama menutup pintu bagi perempuan. Dalam masyarakat yang masih menempatkan laki-laki di garis depan politik, Takaichi membuktikan bahwa tekad, disiplin, dan ambisi bisa menembus batas tradisi.
Dari penggemar heavy metal yang bermimpi punya “kastil sendiri” menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang, Sanae Takaichi kini berdiri di persimpangan antara masa lalu dan masa depan Jepang, membawa warisan konservatif Shinzo Abe, tapi juga harapan baru bagi generasi yang ingin melihat negeri itu melangkah lebih percaya diri ke dunia.
Baca juga:
Era Baru Jepang: Sanae Takaichi Resmi Jadi PM Perempuan Pertama Negeri Sakura