Editorial Media Indonesia: Efek Serampangan Rusak Lingkungan

Ilustrasi Lingkungan Bali/MI

Editorial Media Indonesia: Efek Serampangan Rusak Lingkungan

Media Indonesia • 12 September 2025 06:24

PULAU Dewata, yang selama ini dikenal dunia sebagai surga wisata, berubah menjadi lautan air bah. Bali tak luput dari bencana banjir bandang. Sejauh ini, total korban meninggal dunia yang sudah ditemukan berjumlah 14 jiwa dan yang masih dalam pencarian sebanyak 2 orang.

Tak cuma banjir, tanah longsor ikut mengganas. Ada 18 titik longsor di Gianyar, Karangasem, dan Badung. Sebanyak 16 bangunan jebol diterjang air bah. Denpasar, yang merupakan jantungnya Bali, luluh lantak. Terdapat 81 titik banjir tercatat di kota itu.

Tak hanya Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) pun Ikut diterjang banjir bandang. Infrastruktur lumpuh dan lima warga tewas akibat bencana ganas itu. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nagekeo, NTT, mencatat 5 orang meninggal dunia, 3 hilang, 3 luka-luka, serta 30 warga lainnya mengungsi untuk sementara akibat banjir bandang.
 

Baca: Update Banjir Bali, BNPB: Total 16 Orang Meninggal Dunia

Kita berduka amat dalam atas bencana yang nyaris tiada jeda itu. Kita semua prihatin dan terus bertanya, mengapa bencana tak kunjung sirna? Banjir di dua pulau itu tidak hanya mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan terganggunya aktivitas masyarakat, tetapi juga menjadi alarm keras akan persoalan lingkungan dan tata ruang yang semakin mengkhawatirkan.

Cuaca ekstrem memang menjadi pemicu utama banjir. Hujan lebat dalam intensitas tinggi pada waktu singkat bisa dengan mudah membuat saluran air meluap, sungai-sungai meluber, dan kawasan rendah tergenang. Namun, menyalahkan hujan atau perubahan iklim semata justru bisa mengaburkan akar persoalan yang sebenarnya.

Keparahan banjir di Bali dan daerah lainnya sangat mungkin lebih dipengaruhi oleh faktor buatan manusia, seperti tata ruang yang serampangan, alih fungsi lahan yang tak terkendali, serta buruknya sistem drainase di kawasan perkotaan.

Di Bali, pembangunan hotel, vila, dan infrastruktur pariwisata yang masif sering kali mengorbankan sawah, hutan, dan daerah resapan air. Lahan-lahan hijau yang dulunya menjadi penyangga alami air hujan, kini disulap menjadi beton-beton tak ramah lingkungan. Tak mengherankan jika air hujan tidak lagi meresap, tetapi langsung mengalir deras, menghantam permukiman, jalan raya, dan fasilitas umum.

Ironisnya, banyak dari pembangunan itu justru terjadi dengan dalih semata demi kemajuan ekonomi dan pariwisata. Padahal, pembangunan yang tidak berkelanjutan pada akhirnya akan menjadi bumerang. Alih-alih membawa kesejahteraan, ia justru menciptakan risiko bencana baru yang lebih besar.

Banjir bukan lagi sekadar isu musiman atau persoalan teknis drainase. Ini adalah refleksi dari cara kita memperlakukan ruang hidup kita. Maka dari itu, penanganan banjir tidak bisa hanya mengandalkan peningkatan respons darurat saat hujan deras turun. Yang lebih krusial ialah pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola ruang dan lingkungan.

Pemerintah daerah dan pusat perlu meninjau ulang rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan perspektif keberlanjutan. Evaluasi terhadap izin-izin pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan harus dilakukan secara tegas.

Rehabilitasi lahan kritis, perlindungan kawasan hijau, serta revitalisasi sistem drainase juga harus menjadi prioritas. Banjir kali ini menjadi titik pijak evaluasi besar-besaran terhadap arah pembangunan di Bali dan daerah lain yang dinilai semakin mengabaikan daya dukung lingkungan.

Alih fungsi lahan dalam beberapa tahun terakhir dianggap memperkecil daya serap air sehingga hujan ekstrem langsung menyebabkan banjir di berbagai titik.

Banjir besar di Bali dan daerah lain adalah peringatan bahwa pembangunan tanpa kendali akan membawa bencana. Kita tak hanya dituntut siap menghadapi cuaca ekstrem, tetapi juga wajib membenahi fondasi tata ruang agar lebih berpihak kepada alam.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)